REPUBLIKA.CO.ID, PONOROGO -- Puluhan siswa SD Banaran, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang berada di zona rawan bencana longsor susulan terpaksa menggunakan teras masjid Ibadus Sholihin yang berada tak jauh dari gedung sekolah mereka untuk pembelajaran dan kelas darurat sementara.
Menurut keterangan guru agama SD Banaran Sudjarsijo, Rabu, pengalihan tempat kegiatan belajar-mengajar diberlakukan sejak Selasa (4/4) karena gedung SD mereka berada di jalur longsor.
"Pemindahan kelas untuk pembelajaran siswa ini atas instruksi kepala UPK Dinas Pendidikan Kecamatan Pulung untuk sementara mengosongkan SD dan memindahkan lokasi KBM ke tempat aman, di masjid, rumah penduduk atau lainnya yang ada di wilayah aman," tuturnya.
Gedung SD Banaran memang berada di jalur rawan longsor susulan. Lokasi sekolah yang memiliki enam ruang kelas dan satu ruang guru tersebut hanya berjarak sekitar 50 meter dari ujung "lidah" longsor yang telah meluluhlantakkan 35 bangunan rumah dan mengubur 28 warga yang ada di atasnya.
Hingga saat ini, proses pencarian korban masih terus dilakukan sementara potensi longsor susulan masih mungkin terjadi yang mengancam keselamatan penduduk di bawahnya, terutama di jalur patahan yang ada persis di bawah bangunan SD Banaran.
"Sesuai petunjuk dinas, kegiatan belajar-mengajar di kelas darurat masjid Ibadus Sholihin ini akan terus diberlakukan hingga tiga pekan ke depan. Setelah itu akan dievaluasi seiring perkembangan operasi pencarian dan penetapan status darurat bencana di desa ini," ujarnya.
Di halaman teras masjid yang berukuran 5 x 8 meter tersebut, siswa mengikuti kegiatan belajar-mengajar dengan cara lesehan.
Siswa yang terdiri dari kelas 1-6 mengikuti kegiatan KBM secara bersamaan dengan beberapa guru memandu pembelajaran yang bersifat hiburan, pelatihan hasta karya dan beberapa permainan lain.
"Alhamdulillah hari ini yang masuk sekolah dan ikut pembelajaran semakin banyak. Jika hari pertama kemarin (Selasa, 4/4) ada 30 siswa dan hari ini sudah 50 siswa. Sementara ini kami belum akan memberikan pelajaran berat untuk siswa demi menghindari beban psikologis pada mereka," ucap Sudjarsijo.
Beberapa siswa yang mengikuti pembelajaran di kelas darurat justru mengaku senang dengan kebijakan sementara sekolahnya, karena lebih banyak menghibur dan berkumpul dengan banyak temannya.
"Ya senang saja kan bisa bermain bersama, berlatih hasta karya, membuat kerajinan origami dan semacamnya, tanpa harus memikirkan pelajaran yang berat-berat," tutur Cheila, salah satu siswi kelas VI dengan wajah ceria.
Namun, Cheila dan beberapa siswa lain temannya menyadari jika pembelajaran di kelas darurat berdampak negatif dalam penyerapan pelajaran sekolah/kelas sesuai kurikulum yang ditetapkan.
"Semoga saja desa kami kembali aman, tenteram dan dijauhkan dari segala marabencana," kata Desca, siswi kelas V teman Cheila dan disahut canda ceria siswa-siswi lain di sekitarnya.