REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) dinilai ikut berperan menciptakan kebingungan publik terkait pemilihan kontroversial pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI baru. Hal ini karena MA diketahui menghadiri pelantikan dan juga memandu sumpah jabatan pimpinan DPD RI baru.
Padahal diketahui sebelumnya, MA memutus judicial review membatalkan Peraturan DPD terkait tata tertib yang salah satunya mengatur ketentuan masa jabatan pimpinan DPD 2,5 bulan. Dengan putusan MA tersebut, sebagian anggota DPD bersikukuh pimpinan DPD sebelumnya masih sah lantaran jabatannya hingga lima tahun.
"MA menciptakan kebingungan di dalam masyarakat kita. MA memutus 2,5 tahun dianggap tidak tepat, tapi kemudian MA menariknya," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Mulfachri Harahap di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (5/4).
Menurutnya, yang dilakukan MA tersebut justru menghancurkan kredibilitas MA sendiri. Karena, MA dalam putusannya menolak masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun namun di sisi lain memandu sumpah yang secara tak langsung melegalkan kepemimpinan pimpinan DPD yang baru.
Ketua Fraksi PAN di DPR itu pun menilai, langkah MA tentu berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap produk hukum yang dihasilkan MA beserta jajaran di bawahnya.
"Bagaimana mungkin masyarakat mau percaya produk keputusan pengadilan kalo MA secara terang-terangan melakukan pelanggaran terhadap apa yang sudah diputuskan oleh MA," kata Mulfachri.
Ia mengatakan, seluruh putusan MA semestinya ditaati seluruh instrumen MA dan juga masyarakat. "Tapi ini MA membuat keputusan lalu MA melanggar keputusan yang telah dibuatnya. Kalau MA enggak patuh apalagi masyarakat, ini membuat kredibilitas MA hancur," katanya.