REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan pelaku usaha dalam negeri tidak mengkhawatirkan tudingan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa telah terjadi kecurangan perdagangan sehingga terjadi defisit neraca perdagangan di negaranya. Indonesia disebut menjadi salah satu negara yang berkontribusi terhadap defisit perdagangan AS hingga 13 miliar dolar AS.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengungkapkan, pengusaha di Indonesia sebetulnya tidak merasa khawatir bahwa iklim perdagangan di dalam negeri akan terganggu. Rosan menilai, apa yang dilakukan Trump melalui executive order-nya sesungguhnya berupa upaya agar AS mampu menyeimbangkan neraca perdagangannya. Caranya, dengan mencari komoditas apas aja yang kira-kira bisa diekspor ke Indonsia. Penyeimbangan yang dilakukan ini, kata Rosan, bukan dengan cara mengecilkan volume perdagangan yang sudah ada selama ini. Sebaliknya, AS justru ini volume ekspornya ke negara-negara yang membuat defisit ditingkatkan.
"Saya sudah bicara dengan atase perdagangan AS dan Kedutaan Besar. Yang di-assestment bukan mengurangi kuenya, mengecilkan perdagangan dengan barrier. Bukan. Namun mereka mencoba meningkatkan ekspor mereka," ujar Rosan, di Jakarta, Kamis (6/4).
Meski begitu, memang perlu diwaspadai kebijakan AS yang masih saja menggaungkan prinsip proteksionisme. Rosan memandang, globalisasi adalah sesuatu yang bergulir. Artinya, pasar akan senantiasai saling mengisi. Bila pasar tujuan di AS menjalankan proteksionismenya, maka pasar lain akan membuka ruangnya seperti Cina. "Jadi itu menurut saya gejala yang harus kita hadapi, itu pasti akan ada yang replace. Ya nggak perlu khawatir," katanya.
Sementara itu, Ekonom Senior ADB untuk Indonesia Priasto Aji menilai bahwa Indonesia masih cukup kuat menghadapi risiko eksternal termasuk isu terbaru yang dilontarkan Trump soal tudingan negara-negara curang dalam perdagangan. Menurutnya, ketahanan Indonesia bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang merangkak naik, defisit neraca berjalan yang menyempit, inflasi yang terkontrol, dan kredibilitas fiskal yang mulai pulih.
"Ya kita akan melihat. Bagaimanapun AS juga butuh perdagangan. Mungkin itu (Trump's Order) hanya retorika," ujar dia.
Baca juga: Pemerintah Gelar Rapat Sikapi Tuduhan Curang Donald Trump