Jumat 07 Apr 2017 04:44 WIB

Silaturahim

Suwendi, Alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon.
Foto: Dok.Pribadi
Suwendi, Alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Oleh: Suwendi

Alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Secara kebahasaan, silaturahim berasal dari kata washala, yang artinya menyampaikan atau menyambungkan. Yang disampaikan atau disambungkan adalah al-rahmu atau al-rahim, yang artinya kasih sayang. Jadi, orang yang bersilaturahim adalah orang yang memiliki keinginan untuk menyampaikan atau menyambungkan kasih sayang di antara sesama manusia. Ingin menyambungkan segala hal yang tadinya putus atau yang menjadi masalah sehingga menjadi menyambung dan tidak ada masalah. Itulah silaturahim.

Dalam bahasa Indonesia, istilah rahim juga merujuk pada sebuah tempat di dalam perut ibu di mana bakal-manusia dipersiapkan sebelum dilahirkan. Dengan ini, orang yang melakukan silaturahim berarti menganggap orang yang dikunjunginya yaitu seakan-akan saudara yang keluar dari rahim yang sama, seakan-akan saudara sekandung. Silaturahim dilakukan bukan pada saat butuh bantuan atau pekerjaan saja, tetapi dapat dilakukan kapanpun tanpa memandang ada keperluan atau tidak. 

Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Allah menciptakan alam raya ini, pada saat itu pula Allah menciptakan seratus rahmat. Dari seratus rahmat itu, satu rahmat ditaruh di dunia, sedangkan 99 diberikan di akhirat. Tapi dengan satu rahmat tersebut, semua makhluk hidup di bumi ini merasakan kasih sayang dalam dirinya.

Mari kita lihat dalam praktik keseharian. Jika kita lewat di depan induk ayam yang sedang bermain bersama anak-anaknya, kita akan dipatuk oleh induk ayam karena dia khawatir anaknya diganggu oleh kita. Ini bentuk kasih sayang seekor ayam terhadap anak-anaknya. Begitu juga binatang lainnya, misalnya harimau yang kita kenal sebagai binatang buas. Meskipun buas, tetapi ketika melahirkan dan mengasuh bayinya, ia menjadi hewan yang sangat pengasih. Hal ini bermakna, baik ayam maupun harimau merasa dititipi rahmat Allah yang satu tadi.

Maka menjadi introspeksi bagi kita, bagaimanakah titipan satu rahmat dari Allah yang ada pada diri kita. Sudahkah kita memperlakukannya dengan benar? Bagaimana hubungan kita dengan anak-anak, apakah mereka sudah betul-betul kita berikan kasih sayang? Bagaimana kasih sayang kita terhadap istri/suami, apakah betul kita menyayangi pasangan hidup kita? Atau jangan-jangan hanya di dalam rumah saja kasih sayang itu diberikan, tetapi di luar rumah berbuat nakal?

Bagaimana pula perhatian kita kepada orangtua kita, apakah kita sudah memberikan kasih sayang kepada keduanya? Kasih sayang kepada orangtua tidak hanya diwajibkan saat orangtua masih hidup, tetapi juga ketika keduanya sudah meninggal. Ada banyak cara, di antaranya adalah mendoakannya atau bersedekah dengan mengatasnamakan orangtua.

Silaturahim sesungguhnya ingin menyambungkan kasih sayang yang dititipkan Allah pada setiap makhluk-Nya. Oleh karenanya, Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang. Islam sama sekali tidak menghendaki terorisme dan kekerasan. Bayangkan bagaimana sikap Rasulullah sang teladan agung ketika dakwahnya ditolak penduduk Thaif. Ketika itu Rasulullah betul-betul ingin mengajak masyarakat Thaif mengenal agama tauhid dan Islam. Akan tetapi yang dilakukan masyarakat Thaif malah melempari Rasul dengan batu hingga berdarah.

Melihat hal ini, Jibril turun dan menawarkan kepada Nabi untuk menimpakan sebuah gunung kepada penduduk Thaif. Tapi Rasul menolaknya, malah beliau mendoakan masyarakat Thaif: “Ya Allah, berilah hidayah kepada mereka, karena sebenarnya mereka tidak mengetahui.”  

Rasulullah memberikan contoh kepada kita bahwa berdakwah itu harus disertai dengan kelembutan. Dengan kelembutannya, di kemudian hari masyarakat Thaif akhirnya menerima apa yang disampaikan Nabi dan menjadi pemeluk Islam yang teguh.

Silaturahim itu sesungguhnya linier dengan asal-usul dari diciptakannya manusia. Ayat pertama yang Allah turunkan sudah mengandung hal ini. Yang menjadi fokus dalam hal ini adalah kata al-‘alaq. Dalam terjemah al-Quran kata al-‘alaq berarti segumpal darah. Tetapi Prof. Dr. Quraish Shihab menyatakan bahwa al-‘alaq itu maknanya tidak hanya segumpal darah.

Kata al-‘alaq bisa juga berarti “bergantung" atau "kebergantungan". Artinya, Allah menciptakan manusia itu dari sifat bergantung atau membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, kita semua menggantungkan diri kepada orang lain. Tidak ada satu orang pun yang mampu berdiri kokoh dengan kaki sendiri, tanpa bantuan orang lain. Sesama manusia mesti saling membutuhkan.

Yang membutuhkan bukan hanya orang miskin terhadap orang yang kaya, tetapi juga orang kaya terhadap orang miskin. Ketika momen Idul Fitri, para pembantu biasanya pulang kampung. Pada saat itu, bisa dipastikan orang-orang kaya yang pembantunya pulang, akan kerepotan karena harus mengurus segalanya sendirian.

Tidak sampai di situ, kita tahu orang mati membutuhkan orang yang hidup berupa doa-doa. Akan tetapi sesungguhnya orang hidup pun butuh kepada orang yang mati. Ada sebuah cerita dari tetangga yang berprofesi sebagai penggali kubur. Jika ada orang yang mati, dia bersyukur karena dengan itu dia mendapat rezeki. Jika pada hari itu tidak ada satu orang pun yang mati, maka dia tidak mendapat rezeki. Wallahu a’lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement