REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin mengatakan keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme merupakan hal yang baru di Tanah Air. "Perempuan terlibat teror ini baru," kata Solahudin dalam acara bertajuk Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media, di Jakarta, Jumat (7/4).
Komentarnya tersebut merujuk pada keterlibatan Dian Yulia Novi (DYN) dan Ika Puspitasari (IP) yang merupakan jaringan teroris Bekasi, Jawa Barat, dengan pimpinan selnya, M Nur Solihin (MNS). Mereka ditangkap pada Desember 2016.
Menurut dia, keterlibatan perempuan dalam aksi teror disebabkan pemimpin militan ISIS dari Indonesia, Bahrun Naim pernah mengajak perempuan untuk ikut melakukan aksi 'jihad' karena hanya sedikit laki-laki yang mau. "Bahrun bilang kalau di Suriah aksi amaliyah tidak wajib dilakukan oleh perempuan. Tapi di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-lakinya pada pengecut. Itu dalam percakapan Telegram pada Juni 2016," katanya merujuk pada informasi dan riset yang dilakukannya.
DYN ditangkap di Bekasi, Jawa Barat. Dian Yulia Novi (DYN) alias Ayatul Nissa Binti Asnawi merupakan mantan TKW di Taiwan yang kemudian pulang ke Indonesia dan menikah dengan MNS. Ia diproyeksikan sebagai calon "pengantin" bom bunuh diri di lingkungan Istana Negara, Jakarta, pada Ahad (11/12) Desember lalu. Rencananya aksi tersebut menargetkan momen pergantian petugas jaga paspampres di Istana.
Selain DYN, IP yang juga mantan TKW di Hong Kong direncanakan sebagai "pengantin". Densus 88 menangkap teroris Ika Puspitasari (IP), warga Dusun Tegalsari, Desa Brenggong, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Kamis (15/12).
IP ditangkap di mushala Dusun Tegalsari, Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo saat sedang ikut mempersiapkan kegiatan Maulid Nabi SAW. IP diproyeksikan sebagai bomber pada aksi teror di Bali.