REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dan Malaysia melakukan perundingan untuk mengkaji ulang perjanjian perdagangan di perbatasan alias Border Trade Agreement (BTA) antara kedua negara. Perundingan yang dilangsungkan di Lombok, NTB tersebut bertujuan untuk memperbarui perjanjian yang akan digunakan sebagai payung hukum masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Perjanjian dagang di perbatasan telah disepakati oleh Indonesia dan Malaysia sejak 1970 lalu. Kesepakatan tersebut telah ditinjau ulang sebanyak dua kali pada tahun 2009 dan 2011. Namun, meski sudah dua kali ditinjau ulang, belum ada poin kesepakatan yang direvisi. Padahal, telah banyak dinamika dan perkembangan yang terjadi sejak perjanjian tersebut ditandatangani pertama kali puluhan tahun lalu.
Akhirnya, setelah enam tahun tertunda, perundingan kembali dilakukan setelah Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita
bertemu dengan Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia pada the 2nd Joint Trade and Investment Committee (JTIC) pada 30 Juni 2016 lalu di Jakarta.
Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengatakan, pada 2014, Indonesia mengeluarkan UU Perdagangan No. 7 yang mengatur lebih jelas tentang perdagangan perbatasan. "Ini memberi mandat pada Indonesia untuk memperbaiki perjanjian perdagangan di perbatasan Indonesia-Malaysia, misalnya soal definisi dan cakupan perjanjian," ujar Made, lewat keterangan resmi pada Republika, Jumat (7/4).
Delegasi kedua negara merundingkan beberapa isu yang tertunda pada perundingan putaran kedua pada 2011 lalu, antara lain mengenai cakupan perjanjian dagang dan komoditi yang diperdagangkan. Perundingan yang berlangsung selama dua hari pada 6-7 April tersebut menghasilkan sebuah draf bersama BTA Indonesia-Malaysia yang akan menjadi basis pertemuan putaran berikutnya. Pemerintah berharap, revisi atas perjanjian dagang di perbatasan dengan Malaysia dapat segera disepakati tahun ini.