REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Sejumlah pesawat tempur menghantam sebuah kota di Suriah utara, tempat serangan kimia menewaskan puluhan orang awal pekan lalu. Serangan dinilai sebagai intervensi atas kepemimpinan Presiden Bashar Assad dari kekuasaan.
Dilansir dari Time, Sabtu (8/4), Observatorium Suriah untuk HAM yang berbasis di Inggris mengatakan, serangan udara di sisi timur Khan Sheikhoun menewaskan seorang wanita. Ini jadi kematian pertama di kota itu sejak serangan kimia yang menewaskan sedikitnya 87 orang, Selasa lalu.
Komite Koordinasi Lokal, kelompok pemantau lain menuturkan, serangan udara dilakukan pesawat perang Rusia, dan wanita yang jadi korban itu melarikan diri ke kota dari Latameh di Suriah tengah. Serangan kimia sendiri telah memicu serangan rudal AS dua hari kemudian.
Serangan AS itu menghantam pangkalan udara Suriah, yang menewaskan setidaknya sembilan orang. Pemerintah Suriah membantah melakukan serangan kimia di Khan Sheikhoun, dan Kementerian Pertahanan Rusia berdalih racun dilepaskan saat serangan udara Suriah memukul pemerontak di timur.
Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu berpendapat, Ankara melihat intervensi AS di Suriah sesuai tapi tidak cukup. "Jika intervensi ini dibatasi hanya untuk pangkalan udara, tidak berlanjut dan tidak menghapus rezim dari Suriah, ini tetap invervensi kosmetik," kata Cavusoglu.
Cavosoglu, menilai proses paling ideal akan jadi solusi politik Suriah sesegera mungkin, dan untuk bisa tercapai penindasan Assad harus dihapuskan. Usai pemerintah transisi mengambil alih, akan diikuti pemilihan di Suriah, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sementara, Saudi Press Agency melaporkan Presiden AS Donald Trump telah berbicara dengan Raja Salman lewat sambungan telepon, tentang serangan rudal AS di Suriah. Bahkan, mereka melaporkan kalau Raja Salman telah mengucapkan selamat ke Donald Trump dan menganggapnya sebagai keputusan berani.