REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo sempat meminta agar agama dan politik tidak dicampuradukkan, tapi bukan berarti memisahkan nilai agama dalam politik. Menanggapi itu, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sepakat dengan itu dan agama juga berperan dalam politik pelayanan.
Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Albertus Patty, menjelaskan, yang dipisahkan adalah agama dan negara dimana masing-masing harus independen. Tapi politik, tidak bisa dipisahkan dari agama. Menurut dia, agama juga harus berpolitik.
PGI sendiri sepakat dengan pernyataan Jokowi yang tidak ingin agama jadi instrumen politik. "Instrumentasi agama oleh oknum politisi untuk mengejar kekuasaan ini yang tidak benar," kata Pdt Albertus, Ahad (9/4).
Ia menyontohkan tokoh politik yang berkampanye lalu dengan menyebut lawannya berbeda agama sehingga tidak usah dipilih. "Saat ini banyak yang menggunakan agama untuk kekuasaan. Ada juga kepala daerah yang menggunakan peraturan daerah yang tidak terkait UUD 1945, tapi mengacu pada agama mayoritas di daerah tersebut," tutur Pdt Albertus.
Soal agama harus berpolitik, ia menjelaskan, ini terutama politik pelayanan. Ketika pemimpin politik melakukan penindasan kepada siapapun baik dari sesama atau bukan dari agamanya, maka agama harus menyampaikan kritik kepada pemimpin. Fungsi agama di sini adalah mengontrol. Agama juga memberi kontribusi di negara yang plural ini agar tetap harmonis dengan tetap menjaga keadilan dan kesetaraan. "Sehingga fungsi politik agama adalah memberi kontribusi positif bagi semua," ungkap Pdt Albertus.
Dia mengatakan, setiap ada penindasan, agama mesti bersuara. Misalnya korupsi. Tokoh semua agama sama-sama bersuara karena ini persoalan semua. Harus ada penindakan atas ketidakadilan.
Oleh karena itu, pemimpin agama harus kritis. Menurut dia, mereka yang gemar memakai agama untuk politik justru mereduksi agama jadi alat semata. Hal ini butuh kecermatan para pemimpin umat agar agama tidak jadi alat saja.
Apalagi, lanjut Pdt Albertus, dari penelitian di banyak daerah, mereka yang gembar-gembor soal agama, korupsinya besar. Sehingga agama untuk menutupi saja minimnya prestasi.
Pernyataan Presiden Joko Widodo terkait pemisahan antara politik dan agama sempat menuai kontroversi terutama dari tokoh-tokoh umat Islam. Jokowi kemudian meluruskan pernyataanya untuk tidak mencampuradukkan agama dan politik itu dalam konteks persatuan negara. Dia mengingatkan agar jangan sampai agama di politisasi menjadi komoditas. Pernyataaannya itu bukan berarti memisahkan nilai-nilai agama dalam politik.
Jokowi menilai agama sangat penting terutama dalam dinamika politik. Dia mencontohkan dalam membuat kebijakan memerlukan nilai-nili agama, moralitas, kejujuran dan pengabdian. Jika nilai-nilai agama tak diikutsertakan dalam membuat kebijakan, maka kebijakan itu tidak akan mempunyai efek.