REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengakui adanya penurunan transaksi dalam bisnis ritel. Aprindo mencatat, omzet bisnis ritel selama triwulan pertama 2017 turun 10-12 persen dibanding periode yang sama di tahun 2016.
Roy menyebut, kelesuan di bisnis ini telah terjadi setahun terakhir. Di tahun 2016, pertumbuhan bisnis ritel hanya mencapai angka sembilan persen. Padahal, dalam kondisi normal pertumbuhan bisnis tersebut dapat mencapai 12-15 persen per tahun. "Biasanya pertumbuhan ritel itu selalu 2,5-3 kali pertumbuhan ekonomi," kata Roy, saat dihubungi Republika, Selasa (11/4).
Aprindo menilai setidaknya ada tiga faktor yang menyumbang kelesuan di bisnis ritel. Pertama, kata Roy, adanya sentimen negatif atas perpajakan yang digenjot pemerintah. Kedua, sentimen negatif atas Pilkada yang terjadi di sejumlah provinsi serta kabupaten/kota di Indonesia. Ketiga, adanya perubahan gaya hidup masyarakat.
Terkait faktor ketiga ini, Aprindo meyakini ada pergeseran perilaku berbelanja di kalangan masyarakat kelas menengah. Mereka yang biasanya berbelanja dalam jumlah banyak untuk stok satu bulan, Roy mencontohkan, mulai mengubah pola belanjanya dengan membeli barang sesuai kebutuhan. Mereka juga cenderung menunda belanja karena menunggu promo diskon.
Lebih lanjut, Roy memprediksi pertumbuhan bisnis ritel di tahun 2017 akan mengalami stagnansi. Kendati begitu, ia tetap berharap akan ada titik balik di tahun ini yang dapat memacu pertumbuhan hingga di atas dua digit.
Sebelumnya, Bank Indonesia merilis hasil survei yang menunjukkan penjualan ritel di kuartal pertama 2017 turun 0,25 persen dibanding kuartal pertama 2016. Survei penjualan ritel yang dilakukan BI juga menunjukkan pertumbuhan yang lambat di Januari 2017 dan stagnan di Februari 2017.