Ahad 17 Apr 2022 22:29 WIB

Mengapa Kita Harus Memahami Hadis?

Mengapa Kita Harus Memahami Hadis?

Penulisan hadis (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com/a
Penulisan hadis (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut para ulama, hadis adalah segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Rasulullah berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan) maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli ushul fikih, hadis berarti sehala berkataan, perbuatan dan takris Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum.

Istilah lain untuk sebutan hadis ialah sunah, kabar, dan asar. Menurut sebagian ulama, cakupan sunah lebih luas karena ia diberi pengertian segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, maupun pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik itu terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudahnya. Selain itu, titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan normatif Nabi SAW.

Baca Juga

Asar yang juga berarti nukilan, lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat Nabi, meskipun kadang-kadang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Misalnya, doa yang dinukilkan dari Nabi SAW disebut doa ma'sur. Dalam lingkup pengertian yang sudah dijelaskan, kata 'tradisi' juga dipakai sebagai padanan kata hadis.

Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni hadis qudsi dan hadis nabawi. Hadis qudsi yang juga disebut dengan istilah hadis Ilahi atau hadis rabbani, adalah suatu hadis yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian Nabi menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT.

Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi SAW. Dengan begitu, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi yaitu hadis yang lafal maupun maknanya berasal dari Rasulullah sendiri.

Dari segi nilai sanad, hadis ada tiga macam, yaitu sahih, hasan dan daif. Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan, pertama, sanadnya bersambung, kedua, diriwayatkan oleh rawi yang adil, memiliki sifat istiqamah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah (kahormatan dirinya) dan dabit/, ketiga, matan-nya tidak syazz (tidak mengandung kejanggalan-kejanggalan) serta tidak ber-illat (sebab-sebab yang tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis).

Hadis yang memiliki syarat-syarat tersebut juga disebut sahih li zatih. Tetapi bila kurang salah satu syarat tersebut, namun bisa ditutupi dengan cara lain, ia dinamakan sahih li gairih.

Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, tetapi tidak sempurna dabit-nya, serta matan-nya tidak syazz dan ber-illat. Hadis hasan dengan syarat-syarat demikian disebut hasan li zatih/.

Adapun hadis daif (lemah) ialah hadis yang tidak memenuhi syarat sahih dan hasan. Pembagian hadis daif tidak sesederhana pembagian hadis sahih dan hasan karena kemungkinan kekurangan persyaratan sahih dan hasan itu sangat bervariasi. Karena itu, Ibnu Hibban, ahli hadis, menyebutkan bahwa hadis daif ada 49 macam.

Meskipun ini bukanlah pendapat mayoritas ulama hadis, hal itu dapat menggambarkan banyaknya macam hadis daif. Kebanyakan kepustakaan menyebutkan jumlahnya terbatas. 

Disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ikhtiar Baru van Hoeve, Jakarta.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement