Rabu 12 Apr 2017 14:32 WIB

Relokasi Masjid Etnis Hui Picu Sentimen Anti-Muslim

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Agung Sasongko
Muslim Hui
Foto: muslimvoices.org
Muslim Hui

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Rencana pemerintah Cina merelokasi masjid milik etnis suku Hui menuai sentimen anti-Muslim di media sosial lokal. Sentimen ini membuat persoalan jadi rumit.

Komunitas Muslim etnis Hui di Kota Hefei, Provinsi Anhui Cina tak bisa hidup merdeka selama berabad lalu hingga hari ini. Etnis Hui sendiri jumlahnya hampir setengah dari total populasi Muslim di Cina

Sayangnya, rencana pemerintah untuk merelokasi masjid suku Hui, Masjid Nangang, ke tempat yang baru dan lebih luas malan memicu kemarahan dan sentimen anti-Muslim di media sosial di Cina.

Imam Masjid Nangang, Tao Yingsheng, mengatakan persoalan bermula dari media daring, bukan dari komunitas lokal. ''Beberapa orang mulai memicu topik soal perbedaan kelompok etnis melalui mikro blog dan itu malah membuat persoalan jadi rumit,'' kata Tao seperti dikutip Associated Press, Rabu (12/4).

Menggunakan medium mikro blog Weibo, propaganda pengusiran Muslim dari Cina dimulai oleh seseorang bernama Cui Zijian. Ia sendiri memiliki sekitar 30 ribu follower. Ia mengajak warga non-Muslim lokal untuk menghentikan pembangunan masjid baru Nangang menggunakan darah babi.

Seorang warga Muslim Cina yang tengah belanjar di Hong Kong, Isa Ma, mengaku sering merespons serangan yang ditujukan kepada komunitas Islam di media daring. Ia coba memberi penjelasan agar stereotipe negatif itu tidak membesar dan berlanjut. Ia melihat serangan kepada komunitas Muslim lebih karena keacuhan ditambah pengaruh tren global.

''Saya melihat ini efek yang tertunda dari Islamofobia global yang sebenarnya sudah ada di sana sejak lama,'' kata Ma.

Meski warga Cina dihambat aksesnya terhadap informasi dari Barat, namun cara berpikir Barat masih bisa merambat kepada warga di Cina. Ma berharap kejadian ini memicu Muslim di sana untuk lebih mendalami Islam dan mengedukasi warga lokal untuk mengenalkan Islam.

Peneliti Amnesty International, William Nee, mengatakan sentimen anti-Muslim ini diperparah dengan aksi kekerasan di Provinsi Xinjiang yang mayoritas warganya adalah Muslim. Di sana, Pemerintah Cina meningkatkan pengawasan untuk menekan bibit ekstrimis. Bulan lalu pun, orotitas Provinsi Xinjiang sudah melarang burqa, hijab, dan janggut.

''Ada faktor domestik dimana Pemerintah Cina terlalu mengakomodasi pandangan buruk soal Muslim dan warga Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang, termasuk dengan adanya kampanye anti teror yang digencarkan pemerintah,'' tutur Nee.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement