REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelangkaan pasokan membuat harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan. Tidak terkecuali cabai rawit merah. Harga 'cabai setan' yang bisa berada di kisaran Rp 100 ribu per kilogram itu diindikasikan ada sesuatu yang tidak wajar. Polisi pun bergerak dan menetapkan tiga orang menjadi tersangka. Aparat pun menduga ada yang mencoba menahan alias menimbun cabai sehingga terjadi kelangkaan. Akibatnya, harga pun menjadi mahal.
Bukan hanya cabai, praktik penimbunan juga kerap terjadi pada bahan-bahan pokok. Beras hingga bahan bakar minyak (BBM) kerap dijadikan objek penimbunan para mafia. Padahal, hukum di negeri ini tegas melarang adanya penimbunan. Bukan hanya hukum positif, Islam pun melarang keras praktik penimbunan barang dagangan.
Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Fatwa-fatwa Kontemporer menegaskan, menimbun barang dagangan tidak boleh dilakukan ketika masyarakat sangat membutuhkannya. Apalagi, dengan tujuan memperoleh laba berlimpah. Sebab, itu merupakan perbuatan yang haram. Larangan ini mencakup semua barang dagangan. Tak hanya bahan-bahan pokok.
Ia mengutip hadis Rasulullah mendukung argumennya. "Tidak akan menimbun kecuali orang yang berbuat dosa," demikian hadis yang diriwayatkan Muslim dan Abu Daud. Predikat khati'un atau orang yang berbuat dosa, jangan dianggap perkara sepele. Allah SWT menyebut Fir'aun dan Hamman dan tentaranya dengan sebutan yang sama.
Dalam QS al-Qashash ayat 8, Allah mengatakan, sesungguhnya Fir'aun dan Hamman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Pandangan yang sama juga disampaikan Sayyid Sabiq yang tertuang dalam bukunya Fiqih Sunah. Ia beralasan, menimbun dilandasi sifat tamak dan akhlak rendah serta merugikan kepentingan publik.
Rasulullah melalui hadis yang diriwayatkan Ahmad Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan al Bazzaz, mengungkapkan, orang yang menimbun barang pangan selama 40 hari maka telah lepas dari Allah dan Allah telah berlepas dari orang tersebut. Julukan bagi penimbun selain orang berdosa adalah sejelek-jeleknya orang.