Ahad 16 Apr 2017 18:02 WIB

Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan Harga Listrik dan Energi Terbarukan

Rep: Novita Intan/ Red: Budi Raharjo
Petugas sedang melakukan perawatan rutin menara pendingin Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (ilustrasi).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Petugas sedang melakukan perawatan rutin menara pendingin Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) kembali mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan mengenai harga listrik dari energi terbarukan. Kebijakan baru ini dinilai kontra produktif dengan pengembangan energi terbarukan.

Menurut Ketua Umum METI, Surya Darma, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan dapat memberikan kepastian bagi investor atau pengembang energi terbarukan. Apalagi, pengembangan energi terbarukan butuh waktu panjang.

Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memerlukan waktu 6 tahun, sedangkan pengembangan panas bumi memerlukan waktu 7-9 tahun mulai dari fase eksplorasi hingga mulai beroperasi “Pemerintah harus menetapkan kebijakan yang bersifat jangka panjang yang dapat memberikan kepastian bagi pengembang,” ujar Surya di Jakarta, Ahad (16/4).

Terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dinilai sebagai kebijakan yang bisa menghambat pengembangan energi terbarukan. Alasannya, penerapan tarif maksimal 85 persen dari biaya pokok produksi (BPP) sangat kontra produktif dengan pengembangan energi terbarukan.

Apalagi, menurutnya, pembatasan tarif sebesar 85 perse BPP juga pernah diberlakukan terhadap listrik panasbumi. Ketika itu, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2008 tentang Harga Patokan Penjualan Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi. Namun, aturan ini tidak bisa diterapkan hingga akhirnya diganti dengan kebijakan baru.

Kini, dalam peraturan baru, pemerintah menetapkan patokan harga maksimal untuk listrik bukan hanya dari panasbumi, melainkan juga dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, dan sampah. Kondisi seperti itu membuat para investor prihatin.

Keprihatinan investor karena ketidakjelasan Pemerintah dalam menetapkan pembatasan tersebut. Selain kondisi yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, besaran BPP akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Sedangkan, proses pengembangan energi terbarukan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

“Kami sudah mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk mengevaluasi Permen No.12/2017,” paparnya.

Langkah METI ini mendapat dukungan dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN), telah menyurati Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali peraturan yang ditandatangani Menteri ESDM Ignasius Jonan pada 27 Januari 2017.

Dalam suratnya, Ketua Umum KADIN, Rosan P. Roeslani, menyatakan sangat menyayangkan terbitnya Permen ESDM No. 12/2017 yang dinilai justru membuat semangat berinvestasi di sektor energi terbarukan menjadi surut. Kebijakan ini juga membuat iklim investasi di Indonesia semakin tidak kondusif setelah sektor-sektor lainnya juga mengalami kelesuan.

“KADIN telah menerima keluhan dari asosiasi-asosiasi usaha di bidang energi terbarukan yang menyatakan bahwa para pelaku usaha terpaksa menghentikan kegiatan usahanya akibat Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkit Listrik yang dipatok terlalu rendah di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Rosan dalam surat tersebut.

KADIN menegaskan memahami bahwa Permen ESDM tersebut dapat menekan subsidi listrik melalui penurunan BPP Pembangkit listrik. Namun Presiden Jokowi diminta untuk melakukan kajian lebih jauh mengenai pemanfaatan energi terbarukan di daerah terpencil. Lantaran ini dinilai justru dapat menghemat APBN karena dapat menggantikan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Diesel yang biaya produksinya jauh lebih mahal dan saat ini masih memproduksi sebesar 2.000 megawatt (MW).

“Jika diganti dengan PLT Biomassa maka dapat menghemat APBN hingga 17 triliun rupiah setiap tahunnya,” mengutip surat KADIN tersebut.

Lebih lanjut, KADIN menilai bahwa keberpihakan terhadap industri energi terbarukan ini dapat menstimulasi pembangunan daerah tanpa membebani APBN karena akan didanai oleh lembaga-lembaga pendanaan internasional seperti Green Climate Fund. Skema ini sejalan dengan harapan Presiden Jokowi yang disampaikan pada forum COP 21 di Paris.

KADIN melihat adanya potensi investasi sebesar USD 4 miliar untuk pembangunan 4.000 MW pembangkit listrik dari energi terbarukan. Investasi sebesar itu, menurut KADIN, dapat diperoleh melalui regulasi yang ramah terhadap dunia usaha sehingga menarik bagi Investor dan pengembang.

“Oleh karena itu, perkenankan kami untuk mengusulkan kepada Bapak Presiden agar Permen ESDM tersebut ditinjau kembali serta mempertimbangkan agar mekanisme Feed in Tarif dapat diterapkan karena paling sesuai dengan kondisi industri energi terbarukan yang masih merintis,” paparnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement