REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan kemenangan atas hasil referendum yang digelar pada Ahad (16/4). Dengan kemenangan tersebut, sistem pemerintahan negara itu akan berubah.
Dilansir BBC, Turki tidak lagi mendopsi sistem parlementer dalam pemerintahan negara itu, tapi presidensial. Presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri secara langsung.
Selain itu, jabatan perdana menteri akan dihapus untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki. Namun, nantinya terdapat seorang wakil presiden.
Sistem pemerintahan baru Turki disebut oleh sejumlah kritikus membuat Erdogan memiliki kekuatan lebih besar atas negara yang terletak di antara Asia dan Eropa itu. Dari jumlah penghitungan suara referendum, setidaknya 51,4 persen pemilih menyatakan setuju dengan rencana tersebut dan 48,63 persen menolak.
Meski Komisi Pemilihan Umum Turki belum merilis hasil resmi pemungutan suara referendum, dipastikan tak ada yang berubah. Laporan dari kantor berita negara Anadolu mengatakan, saat ini secara keseluruhan ada 99,8 persen suara pemilih atau kurang lebih ada 47,5 juta suara sudah dihitung. Hasil resmi referendum diumumkan dalam 10 hari ke depan.
Sesaat setelah penghitungan suara, ribuan pendukung Erdogan terlihat antusias dan bergembira. Mereka seluruhnya memenuhi jalan-jalan di Istanbul untuk merayakan apa yang disebut oleh orang nomor satu negara tersebut sebagai kemenangan.
"Hari ini Turki telah mengambil keputusan bersejarah dan orang-orang telah menyadari betapa penting reformasi negara ini," ujar Erdogan dilansir BBC, Senin (17/4).
Erdogan juga tengah mempertimbangkan apakah perlu menggelar referendum untuk menentukan hukuman mati diberlakukan kembali di Turki. Pernyataan itu muncul meski hal ini sepenuhnya mengancam negara itu dari keanggotaan Uni Eropa.
Dengan konstitusi baru Turki, pemilihan presiden dan parlemen berikutnya diselenggarakan pada 3 November 2019. Presiden terpilih akan memiliki masa jabatan lima tahun dan maksimal dua periode.
Erdogan mengatakan, perubahan diperlukan untuk membuat stabilitas Turki. Hal ini khususnya dalam menangani ancaman keamanan negara pascakudeta gagal di negara itu yang terjadi Juli 2016, lalu.
Para pendukung Erdogan menolak konstitusi baru Turki hanya memberikan kekuatan lebih besar terhadapnya. Namun, mereka menjelaskan bahwa sistem pemerintahan baru negara itu hanya seperti yang diterapkan Prancis dan Amerika Serikat (AS), yakni pemerintah dapat bertindak lebih efektif.
Erdogan telah berkuasa di Turki pada 2002 lalu, setahun setelah pembentukan AKP. Selama 11 tahun pria berusia 62 itu menjabat sebagai perdana menteri, hingga pada 2014 terpilih menjadi presiden.
Konstitusi yang diadopsi Turki selama ini sudah berlaku sejak 1982 lalu. Dua tahun sebelumnya, tepatnya pada 1980 terjadi kudeta militer. Tujuannya adalah untuk menjamin independensi pengadilan dari organ pemerintahan.