REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengelola museum dinilai masih perlu mempeluas pemahaman dan tidak terbatas berpikir tentang museum sendiri. Karena itu evaluasi diri dibutuhkan bila ingin memajukan museum.
Hal itu disampaikan Arkeolog UGM Daud Aris Tanudirjo pada wartawan di Kepatihan Yogyakarta, Senin (17/4). Menurutnya, paling tidak ada tiga hal dalam pengelolaan museum. Pertama, pengelola meningkatkan diri, kedua, masyarakat dilibatkan, dan ketiga, koleksi ditingkatkan.
‘’Pengelola museum harus lebih banyak melihat masyarakat. Mereka jarang menanyakan masyarakat ingin apa di museum. Museum belum mengembangkan program edukasi yang cukup banyak. Untuk itu seharus museum lebih banyak melihat masyarakat dan bekerja sama dengan guru termasuk bagaimana dalam penataaan pameran.
‘’Museum sudah saya sarankan agar bekerja sama dengan pihak luar museum terutama para pendidik yakni sebagai mitra museum. Selama ini ketika museum belum siap, tetapi ada program kunjungan museum, tentu tidak akan menarik. Karena itu perlu melibatkan masyarakat untuk menyiapkan museum agar menjadi museum yang menarik,’’ ujarnya.
Daud mengungkapkan di DIY sudah ada museum yang secara rutin dikunjungi anak-anak, karena edukatornya memakai pakaian Angkatan Udara, sehingga pengunjung tertarik, karena dibutuhkan oleh pengunjung. ‘’Hal seperti ini tidak dilakukan oleh kebanyakan museum yang ada di DIY,’’ katanya.
Lebih lanjut, Daud mengatakan, museum jangan hanya menerima bantuan, tetapi memprakarsai adanya kreativitas. Sering pengelola museum tidak tahu visi dan misi museum. Seperti halnya di museum “Yogya kembali” seharusnya untuk membangun semangat perjuangan, tetapi sekarang lebih banyak digunakan sebagai tempat hiburan saja.
Karena itu, museum harus didorong visi dan misinya, menjadi ciri yang baik, Museum sekarang ada dua hal yang harus diperhatikan yakni visi misi sebagai lembaga kebudayaan dan lembaga hiburan. ‘’Sebagai lembaga hiburan, museum harus bersaing dengan daya tarik yang lain. Di situ harus berjuang, dan tetap mempertahankan lembaga edukasi dan harus ada otentitas,’’ kata Daud menegaskan.
Otentias ini, jelasnya, tidak harus benda, melainkan bisa juga suasananya. Seperti halnya di Benteng Vredenburg tidak banyak benda otentik, tetapi otentik suasana perjuangan. Sedangkan di museum Sonobudoyo banyak benda yang otentik, tetapi belum menonjol karena presentasinya kurang menarik.