Senin 17 Apr 2017 21:15 WIB

'Film Itu tidak Bebas dari Nilai'

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Yudha Manggala P Putra
Menonton film ke bioskop.
Foto: Republika/Yasin Habibi
Menonton film ke bioskop.

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Lembaga Sensor Film (LSF) bekerja sama dengan Pemerintah Kota Tangerang menggelar kegiatan bertajuk Sosialisasi Penerapan Kearifan Lokal, Senin (17/4). Kegiatan ini dalam rangka mempertahankan budaya lokal dari efek negatif dari film.

"Film itu tidak bebas dari nilai. Seorang produser pasti punya nilai gagasan dan nilai untuk penonton," jelas Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Dody Budiatman di Grand Ballroom Hotel Novotel, Jalan Jend. Sudirman, Kota Tangerang, Banten, Senin.

Oleh sebab itu, kata Dody, hal tersebut yang menjadi konsentrasi LSF untuk menyeleksi nilai-nilai tersebut.  Agar nilai-nilai budaya yang ada di suatu daerah tidak hilang karena pengaruh film. Menurut Dody, pengaruh film sangat luar biasa. "Dulu ada film yang pemainnya pakai jaket merah, semua pakai jaket merah. Pemainnya berjambul pada pake jambul," kata Dody memberi contoh.

Semua film yang akan tayang di Indonesia harus melalui LSF terlebih dahulu. Kini, Dody menjelaskan, LSF tidak hanya berperan sebagai bodyguard saja. Tetapi, mereka juga mengajari masyarakat untuk melindungi diri sendiri.

"LSF memang bertugas untuk menyensor konten-konten yang dilarang. Setelah itu, LSF mengklasifikasikan film tersebut berdasarkan usia," jelas Dody.

Klasifikasi usia yang digunakan oleh LSF terdiri dari SU (semua umur), 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, dan 21 tahun ke atas. Dengan adanya klasifikasi ini, Dody mengharapkan adanya sensor mandiri dalam diri masyarakat.

"Sensor mandiri ini harus dimiliki tiap individu, terutama orang tua. Mereka harus paham tidak boleh membawa anak di bawah umur ketika menonton film yang klasifikasifikasi usianya lebih tinggi," sambung Dody.

Syamsul Lusa, seorang anggota LSF yang turut hadir pada acara tersebut memberikan contoh sistem sensor di Amerika Serikat. Di sana, kata Syamsul, sensor film dilakukan oleh dua pihak. Pertama, melalui lembaga sensornya. Kedua oleh para wartawan yang ada di sana jika film tersebut tidak dimasukkan ke lembaga sensor.

"Kalau lembaga sensor di sana tidak memberikan klasifikasi, pembuat filmnya pasti rugi. Para orang tua di sana sangat sadar self-sensorship soal rating," kata Syamsul.

Menurut Syamsul juga, sensor mandiri itu terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama ada pada sang produser. Menurutnya, sensor tersebut tergantung dari produser itu. Mau melakukan penetrasi pasar untuk ekonomi atau untuk mengedepankan nilai-nilai. Syamsul mengatakan, "kita melakukan sensor mandiri dari nilai-nilai yang berlaku. Bukan dari maksud ekonomi saja."

Tahap selanjutnya ke para distributor dan eksibitor. Dalam hal ini bioskop. Menurut Syamsul, bioskop harus punya kekuatan sensor mandiri. Benteng terakhir, kata Syamsul, adalah diri kita sendiri. Sama seperti Dody, Syamsul menekankan sensor mandiri harus dilakukan oleh para orang tua, bukan anak-anak. "Anak-anak kan mau nonton semuanya ya," tutur Syamsul.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement