REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Parlemen Uni Eropa menilai industri sawit menciptakan masalah seperti deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, pekerja anak, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Resolusi itu secara khusus menyebut industri sawit Indonesia sebagai salah satu pihak yang berkontribusi pada permasalahan tersebut. Menanggapi hal ini, Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengatakan, tudingan Parlemen Uni Eropa tersebut harus dipatahkan oleh negara penghasil sawit yakni Indonesia dan Malaysia.
"Oleh karena itu, ada suatu forum tetap antara Indonesia dengan Malaysia untuk membahas hal itu, untuk membikin counternya dan diplomasi," ujar Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (18/4).
JK menegaskan, diplomasi tersebut untuk menjelaskan bahwa yang dikhawatirkan oleh Parlemen Uni Eropa itu tidak benar. Menurutnya, permasalahan ini bukan yang pertama kalinya dialami oleh Indonesia.
Ia menjelaskan, sekitar tahun 1990an ada penelitian yang menganggap bahwa minyak sawit tinggi kolesterolnya. Anggapan tersebut kemudian dibantah melalui penelitian di beberapa universitas yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia, termasuk penelitian di Amerika Serikat. "Setelah itu dibantah dengan penelitian itu tidak benar, jadi tidak ada masalah lagi," kata Jusuf Kalla.
Tudingan Parlemen Uni Eropa terhadap sawit karena minyak sawit dianggap menyaingi minyak-minyak nabati lain yang diproduksi di Eropa di antaranya minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai. Untuk diketahui, parlemen Uni Eropa mulai melarang pemakaian biodiesel berbasis CPO mulai 2020. Parlemen Uni Eropa juga akan memberlakukan sertifikasi tunggal bagi kelapa sawit yang tertuang dalam resolusi Uni Eropa bertajuk Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests, yang diterbitkan untuk menghalau dampak negatif perkebunan seperti deforestasi dan degradasi habitat.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI Kasriyah menyebut resolusi tentang minyak sawit ini sebagai strategi perang dagang. Menurutnya, sangat tidak relevan jika parlemen Uni Eropa menyebut sektor industri sawit sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan dan masalah deforestasi di dunia.
"Kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan dunia bukan hanya disebabkan oleh sawit, justru masalah plastik, dan komoditi lainnya seperti kedelai dan jagung yang lebih banyak menimbulkan dampak negatifnya terhadap lingkungan”, kata Kasriyah dalam siaran pers yang diterima Republika.
Politisi PPP ini juga menjelaskan resolusi tersebut justru mengabaikan permasalahan yang akan dihadapi pada sektor perdagangan, ekonomi, dan kemanusiaan jika industri sawit tutup. Luas lahan sawit mencapai 11,6 juta hektar, di mana 41 persen di antaranya merupakan tanaman petani atau small holders. Jumlah tenaga kerja yang terlibat dari usaha hulu hingga hilir sawit tidak kurang dari 16 juta orang petani dan tenaga kerja.
“Indonesia dan Malaysia adalah dua negara penghasil sawit terbesar di dunia, industri sawit di Indonesia merupakan industri besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak”, ujar Kasriyah.