Selasa 18 Apr 2017 21:30 WIB

ICW: Kasus Korupsi Kesehatan Belum Banyak Diusut

Rep: Laeny Sulistyawati/ Red: Ilham
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri (kiri).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pemantauan dan pemberantasan korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, penegak hukum belum banyak mengusut dan menjerat kasus korupsi kesehatan. Koordinator Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri memberi contoh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terutama pengadaan barang dan jasa yang melanggar prosedur sehingga merugikan keuangan negara.

"Banyak rekomendasi BPK kepada penegak hukum supaya temuan tersebut memenuhi unsur pidana diusut tetapi banyak yang tidak lolos," katanya usai konferensi pers di Jakarta, Selasa (18/4).

Contohnya, kata dia, korupsi alat kesehatan (alkes) flu burung yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan. Kasus itu diakuinya sudah sejak 2014, tetapi hingga tahun ini atau 2017, kasus ini baru masuk ke persidangan. Ia menilai aparat hukum tidak terlalu memperhatikan korupsi sektor kesehatan.

Menurut ICW, penindakan korupsi kesehatan itu sangat penting, terutama mencegah korupsi kesehatan. "Karena sekali korupsi kesehatan terjadi banyak hal terjadi ada banyak pemborosan yang akan merugikan negara. Ketika anggaran kesehatan meningkat, potensi korupsinya juga meningkat," katanya.

ICW berharap adanya perbaikan tata kelola anggaran, terutama perencanaan anggaran kesehatan berbasis data dan kebutuhan. Kedua, paradigma yang dimunculkan adalah paradigma sehat, yaitu anggaran kesehatan promotif dan preventif supaya diprioritaskan dan jangan mengalokasikan anggaran untuk kuratif.

Selain itu, perlu adanya kebijakan open contracting, yaitu membuka semua dokumen pengadaan seperti harga perkiraan sendiri (HPS), spesifikasi teknis kontrak dan berita acara serah terima barang pada publik. Sehingga masyarakat dan publik bisa menilai apakah harga yang ditawarkan itu wajar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement