REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Partai oposisi utama Turki mendesak pembatalan atas hasil referendum konstitusi. Pasalnya, banyak dugaan kecurangan terjadi dalam proses referendum. Sehingga hasil referendum dianggap tidak sah.
Referendum konstitusi Turki digelar pada Ahad (16/4). Hasil refedendum 51,4 persen pemilih setuju, sedangkan 48,63 persen menolak. Tipisnya hasil referendum memunculkan dugaan kuat akan kecurangan serta manipulasi suara.
Referendum digelar untuk merubah sistem pemerintahan Turki, dari parlementer menjadi presidensil. Dengan perubahan tersebut, Presiden Turki saat ini, Recep Tayip Erdogan, dimungkinkan untuk mempertahankan kekuasaannnya sampai tahun 2029. Selain itu, kewenangan presiden akan lebih besar dari sebelumnya.
Bulent Tezcan, Wakil Ketua Partai Rakyat Republik (CHP) mengatakan bahwa partainya akan mengajukan permohonan secara resmi untuk membatalkan hasil referendum. Menurutnya, segala upaya legal akan ditempuh. “Kami menuntut pembatalan referendum ini,” ujar Tezcan seperti dikutip AP.
Pihak oposisi telah merinci beberapa penyimpangan yang terjadi selama proses referendum. Salah satunya mengenai surat suara tanpa stempel resmi. Sementara menurut hokum Turki, surat suara sah harus memiliki stempel resmi sebagai persyaratan.
Hal tersebut menumbulkan ancaman keras kepada Presiden dan Perdana Menteri Turki, salah satunya dari Organisasi Kerjasama dan Keamanan Eropa (OSCE). “Upaya membayangi hasil pemungutan suara dengan menebar rumor penipuan adalah upaya yang sia-sia,” ujar Binali Yildirim, Perdana Menteri Turki.
Menurutnya, kehendak rakyat yang bebas telah terepresentasi melalui kotak suara. Ia meminta agar semua pihak menghormati hasil referendum. “Ini aadalah sebuah kesalahan ketika orang-orang melakukan prostes setelah rakyat bersuara,” tambahnya.
Ketua Partai CHP, Kemal Kilicdaroglu, menuding bahwa komisi pemilihan umum tidak netral dan memihak kepada pemerintah. “Telah jelas bahwa dewan tinggi pemilihan tidak menerima mandate dari rakyat atau konstitusi, namun dari penguasa,” tegasnya.
Sementara itu, di Ankara, ratusan orang berdiri di luar kantor dewan pemilihan umum. Mereka turut mendesak agar hasil referendum dibatalkan, menyusul temuan surat suara tanpa stempel resmi. Aksi serupa juga dilaporkan terjadi di Istanbul. Kedua kota tersebut tercatat sebagai dua kota terbesar di Turki.