REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengatakan paramedis asal Australia memberikan pertolongan pertama kepada para prajurit kontraterorisme Irak setelah serangan gas di Mosul.
Pentagon menyadari apa yang disebut sebagai serangan kimia "bertingkat rendah" terhadap sebuah unit milik Irak di Mosul barat, yang menjadi tempat pertempuran sengit di saat pasukan Irak dan sekutu mereka melawan militan kelompok ISIS untuk memperebutkan kota itu.
Informasi itu diperoleh dari seorang pejabat Departemen Pertahanan AS. Sejumlah penasihat asal AS juga tengah bersama unit tersebut pada saat itu, tetapi seorang juru bicara Departemen Pertahanan membantah hal ini, mengatakan bahwa paramedis Australia berada di tempat yang aman di luar kota Mosul, memberi pertolongan pertama kepada tentara Irak yang terdampak.
"Tak ada personel Australia yang terpapar selama serangan gas terhadap tentara kontraterorisme Irak di Mosul," kata juru bicara itu. "Serangan gas yang gagal itu menyoroti keputusasaan Daesh (kelompok ISIS) di saat pasukan darat Irak melanjutkan operasi untuk membebaskan Mosul," jelasnya.
Belum diketahui senjata kimia apa yang digunakan, tapi kelompok ISIS diyakini memiliki akses ke klorin dan gas mustard.
"Informasi saya pada saat ini adalah bahwa tak ada tentara Australia yang terdampak, tetapi pasukan Australia memberi pertolongan setelah serangan tersebut. Itu informasi yang saya terima dalam beberapa menit terakhir," kata Perdana Menteri Malcolm Turnbull pada Rabu (19/4) pagi.
Dalam sebuah pernyataan, Pentagon melabeli serangan itu sebagai serangan yang sebagian besar tak efektif. Para pejabat Departemen Pertahanan mengatakan, senjata kimia kelompok ISIS "belum sempurna".
Ada laporan atas dua serangan gas ISIS yang terpisah dalam beberapa hari selama akhir pekan, tetapi belum jelas apakah penasehat asal Australia terlibat dalam salah satu dari serangan-serangan tersebut.
Juru bicara Komando Operasi Bersama di Irak mengatakan, kelompok ISIS menyerang pasukan pemerintah dengan beberapa jenis gas di Mosul barat, sehari setelah militan melancarkan serangan gas di lingkungan al-Abar, Mosul barat.
Serangan yang dilakukan untuk merebut kembali Mosul itu diwarnai dengan pertempuran parah di jalanan, yang membuat para anggota kelompok ISIS terusir dari wilayah timur kota dan bertahan di benteng terakhir mereka di wilayah barat.
Pada bulan Maret, tentara Irak merebut kembali gedung-gedung utama pemerintah di barat Mosul dan mengatakan, mereka sekarang menguasai sekitar 30 persen dari wilayah barat kota Mosul -yang terletak di utara Irak ini.
Serangan udara yang dipimpin AS baru-baru ini diduga menewaskan puluhan warga sipil di Mosul, tapi Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, mengatakan, pesawat tempur Australia tak terlibat. Mosul adalah markas paling penting dari kelompok ISIS di Irak dan pertempuran adalah kunci untuk memerangi ancaman terorisme yang lebih luas.
Butuh waktu tiga bulan bagi pasukan Pemerintah Irak untuk menguasai kembali bagian timur kota, dengan ribuan orang tewas atau terluka saat pasukan militer menyisir wilayah tersebut sementara kelompok ISIS seringkali menggunakan warga sipil sebagai tameng mereka.
Pada 2015, Angkatan Pertahanan Australia meningkatkan perlindungan terhadap serangan senjata kimia untuk para personel mereka di Irak. Kepala Pertahanan Udara Marsekal Mark Binskin mengatakan, pada saat itu, penggunaan "senjata kimia terbatas" -termasuk klorin dan gas mustard - oleh kelompok ISIS adalah ancaman yang berkembang terhadap pasukan Australia.
Militer Irak telah membangun jembatan baru di atas sungai Tigris di selatan Mosul sebagai jalan keluar bagi keluarga yang melarikan diri dari pertempuran itu, setelah banjir baru-baru ini memblokir semua titik persimpangan.
Sejumlah jembatan permanen di Mosul sebagian besar telah hancur selama pertempuran untuk merebut kembali kota kedua terbesar di Irak ini.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
Diterbitkan: 19:00 WIB 19/04/2017 oleh Nurina Savitri.