Jumat 21 Apr 2017 17:38 WIB

Pengamat Hukum Nilai Tuntutan JPU Terhadap Ahok Belum Final

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tiba untuk mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tiba untuk mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Hukum, Alungsyah mengatakan sidang ke-20 kasus Penistaan Agama dengan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok sebagai terdakwa telah memasuki babak baru dengan adanyan pembacaan tuntutan yang dilakukan oleh JPU Kamis (20/4) kemarin. Sidang yang menyatakan terdakwa dituntut dengan hukuman pidana selama satu tahun dan dua tahun masa percobaan ini menurut Alung menimbulkan tanda tanya.

Pengacara LKBH IBLAM ini berpendapat tuntutan JPU kepada terdakwa tidak memuaskan semua pihak. Namun dia mengatakan, penggunaan pasal 156 KUHP oleh JPU adalah hal yang dibolehkan dan tidak melanggar hukum.

“kita harus hormati apa yang menjadi tugasnya JPU, selama tidak menyimpang dari hukum acara yang berlaku,” ujar Alungsyah, Jumat (21/4).

Menurut dia, tuntutan satu tahun dengan masa percobaan dua tahun adalah bagian dari upaya shok terapi kepada yang bersangkutan, agar dikemudian hari tidak lagi mengulanginya. Upaya ini, menurut Alung dilakukan agar terdakwa tidak melakukan kesalahan yang sama.

Alung menerangkan, bahwa yang bersangkutan tidak harus menjalani pidananya secara fisik. Waktu dua tahun yang diberikan, menurut Alung membuat terdakwa insyaf dan berbuat baik serta tidak lagi melakukan tindak pidana apapun.

“Kalau dalam masa percobaan kurun waktu dua tahun itu dia melakukan tindak pidana, maka berlakulah pidana satu tahun penjara terhadapnya ditambah dengan pidana baru yang ia lakukan,” tutur Alung.

Pidana percobaan, menurut dia hanyalah bahasa dalam ilmu praktik semata. Jika ditinjau dari Undang-Undang, maka menggunakan bahasa pidana bersyarat. Jika ditinjau dari sanksi yang diberikan, Alung berpendapat terdakwa sudah mendapatkan sanksinya, dan  pelaksanaannya tidak sembarangan kerena harus memenuhi syarat yang ditentukan Undang-undang.

Tuntutan JPU, menurut Alung bukan vonis yang bersifat final (presumtion of innocence), karena yang menentukan dan yang berhak memvonis bersalah atau tidaknya tetaplah majelis hakim. Sebab dalam praktek selama ini, Alung mengatakan sistem pembuktian yang dianut dalam hukum didasarkan pada undang-undang dan negatief watelijk dalam  arti dua alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim.

"Sederhananya ialah, walaupun alat buktinya lengkap, namun majelis hakimnya tidak memiliki keyakinan kalau ia melakukan tindak pidana, maka sangat dimungkinkan terdakwa dibebaskan, atau malah sebaliknya," ujar Alung.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement