REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, mengatakan, hak angket yang rencananya akan digulirkan DPR pada KPK terkait kasus kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) akan menimbulkan potensi adanya intervensi pada proses hukum kasus megakorupsi tersebut. Ia meminta agar hak angket tersebut jangan digulirkan.
"DPR memang punya fungsi pengawasan, seperti halnya hak angket. Tapi untuk kasus KTP-el, hemat saya jangan dilakukan, karena ini termasuk penegakkan hukum. Yang boleh diawasi terhadap KPK itu misalnya tentang anggaran, atau tentang menurunnya kinerja KPK, tidak ke kasus," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (21/4).
Warlan membenarkan hak angket itu adalah hak yang boleh dikeluarkan oleh DPR, tetapi hanya digunakan sebagai fungsi pengawasan yang ditujukan bagi pemerintah yang mungkin saja menyimpang pada perundang-undangan, atau konstitusi. Sehingga, lanjut dia, sangat tidak dibenarkan instrument lembaga seperti hak angket di gulirkan pada proses penegakkan hukum.
"Harus dibedakan antara politik dan penegakkan hukum. Apalagi hak angket itu akan digulirkan pada kasus KTP-el, jadi hemat saya akan menimbulkan potensi ada ‘intervensi’ pada proses ini," katanya.
Warlan mengatakan, akan sangat berbahaya jika gara-gara hak angket tersebut, penegakkan hukum akan terhenti. Memang sebelumnya, lanjut Warlan, DPR mengutarakan hak angket tersebut tidak akan mengintervensi, atau mengganggu. Namun, substansi dari hak angket bisa dirasakan sangat liar.
"Itulah yang dikhawatirkan, ini sebuah intervensi yang bisa menghambat proses hukum, apalagi kasus KTP-el menyeret para anggota dewan," ujarnya.