Sabtu 22 Apr 2017 11:31 WIB

Malyasia Menuju Industri Vaksin Halal Terbesar Dunia

Rep: Marniati/ Red: Agus Yulianto
Vaksin (Ilustrasi)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Vaksin (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Kunjungan kenegaraan Raja Salman Abdulaziz Al-Saud ke Malaysia Februari lalu secara signifikan berdampak pada investasi Arab Saudi ke negara tersebut. Salah satunya termasuk investasi besar untuk membuat Malaysia menjadi produsen vaksin halal terbesar di dunia pada tahun depan.

Sebuah nota kesepahaman telah ditandatangani antara AJ Pharma, sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Saudi di bawah al-Jomaiah Group, dan Halal Development Corporation untuk investasi sebesar 300 juta USD untuk fasilitas dan infrastruktur di Malaysia. Meskipun menjanjikan dalam hal prospek teknologi dan keuangan, industri vaksin halal yang baru didirikan (HVI) menghadapi tantangan sosial-hukum yang kompleks.

Menurut peneliti dari Institut Internasional Studi Islam Tingkat Tinggi (IAIS) Malaysia, Ahmad Badri Abdullah, industri ini perlu mengatasi tiga tantangan. Yakni etika keagamaan, Keamanan dan manufaktur, serta masalah sosial.

Pertama, vaksin halal dan masalah hukum Islam muncul dari tidak adanya definisi standar halal yang seragam. Sehingga menyebabkan perbedaan tingkat penerimaan di berbagai negara.

Menurutnya, di beberapa negara, persyaratan halal terbatas pada larangan produk berbasis babi dan alkohol yang ditetapkan secara jelas dalam Alquran. Namun, di negara lain, persyaratan standar halal meliputi peralatan manufaktur, bahan baku, dan proses.

Bahkan, ketika sampai pada standar halal yang jelas. Seperti larangan alkohol dan zat-zat yang haram secara religius, pendapat mengenai spesifikasi yang tepat pun berbeda-beda. Misalnya, penggunaan alkohol dalam vaksin dilarang di beberapa negara, namun diizinkan dalam batas-batas tertentu di negara lain. Beberapa ahli hukum Muslim mengizinkan penggunaan alkohol hanya sebagai katalisator, bukan sebagai produk akhir.

Dilansir dari nst.com.my, belum lama ini, Badri menjelaskan, pembuatan vaksin baru adalah proses rumit yang menimbulkan tantangan besar bagi industri ini. Dari produksi skala kecil di laboratorium hingga produksi skala besar, dibutuhkan waktu sembilan sampai 11 tahun untuk mengembangkan vaksin baru. Produksi dikenai persyaratan peraturan yang ketat seperti penetapan fasilitas yang sesuai dengan syariah yang dalam beberapa kasus, menghabiskan biaya hingga 750 juta USD.

Biaya tambahan juga terjadi pada logistik, karena vaksin halal perlu diangkut secara terpisah dari produk non-halal. Ada juga kekurangan tenaga ahli terlatih yang mampu mengaudit proses pembuatan vaksin halal.

Proses sertifikasi produk farmasi halal yang panjang juga dapat mempengaruhi pemasaran dan penjualan produk baru, yang pada gilirannya dapat memperlambat pertumbuhan pasar vaksin halal. Faktor-faktor ini dapat membuat produsen vaksin terkemuka tidak memasuki industri vaksin halal global.

Dalam hal tantangan sosial, kata Badri, masyarakat Malaysia menyaksikan kecenderungan orang tua menolak vaksinasi untuk anak-anak mereka. Munculnya gerakan anti-vaksin global dan aksesibilitas terhadap informasi yang tidak difilter mempengaruhi pandangan orang tua terhadap status vaksin halal.

"Tren anti-vaksin yang berkembang ini, jika dibiarkan, dapat menghambat pertumbuhan pasar vaksin halal karena gerakan tersebut tidak hanya memprihatinkan status halal vaksin tapi sama sekali menolak vaksinasi sebagai prosedur perawatan kesehatan yang valid," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement