Sabtu 22 Apr 2017 11:58 WIB

Kembali Uji Materi PP Pengupahan, Buruh Yakin Menang

Rep: ali mansyur/ Red: Budi Raharjo
Buruh berunjuk rasa menuntut upah layak. (ilustrasi)
Buruh berunjuk rasa menuntut upah layak. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Buruh kembali mendaftarkan gugatan uji materi Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan. Dalam gugatan yang kedua ini, buruh yakin pengadilan akan mengabulkan gugatan dan menggugurkan produk perundang-undangan yang cacat hukum tersebut. 

Gugatan itu didaftarkan ke Mahkamah Agung pada Jumat, 21 April 2017 atas nama Tim Advokasi Tolak Upah Murah (TATUM). Tim itu beranggotakan di antaranya  Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, dan Rumah Rakyat Indonesia.

Anggota TATUM, Nelson Saragih mengatakan PP no 78 tahun 2015 itu bertentangan dengan Undang-undang Ketenagakerjaan 13 tahun 2003 terutama pasal 4, 88, 89, dan 98 tentang pengupahan. “Khususnya tentang upah formula upah minimum, survey KHL dan hak berunding buruh,” kata perwakilan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (22/4)

Gerakan buruh menganggap bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi jilid IV itu telah memiskinkan buruh. Ini karena  PP Pengupahan menetapkan penyesuaian upah berdasarkan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, pasal 88 UU Tenaga Kerja menyebutkan, “Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.”

Lanjut Saragih, akibatnya, penyesuaian upah pada 2017 hanya mencapai 8,25 persen secara nasional. Sebelumnya, penyesuaian upah bahkan pernah mencapai 40 persen, seperti pada 2013 di DKI Jakarta. “Jadi sangat jauh ketinggalan soal biaya kenaikan hidup dan pertumbuhan upah,” kata Nelson Saragih.

Selain itu, kata Saragih PP Pengupahan semakin menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh karena menghapus upah sektoral di banyak provinsi di Indonesia. Padahal, jenis upah ini lebih tinggi karena berasal dari sektor unggulan.

Kemudian buruh menganggap ketertinggalan itu berakar dari hilangnya hak berunding buruh sebagaimana diatur dalam Undang-undang 13 tahun 2003. “Sedangkan kalau dibandingkan dengan metode yang lama lewat perundingan dan survei kebutuhan pokok di Dewan Pengupahan,” tambahnya.

Sebelum PP ini keluar, Dewan Pengupahan menentukan yang lebih sesuai dengan kenaikan harga kebutuhan buruh di pasaran. Nilai survei itu kemudian dirundingkan dengan perwakilan pengusaha di Dewan Pengupahan. “Survei selama ini dilakukan setiap tahun dan dalam PP Pengupahan ini dilakukan selama lima tahun sekali,” terangnya.  

Saragih menambahkan, KSPI dan KPBI yakin gugatan kali ini akan dimenangkan. Sebelumnya, Mahkamah Agung menolak uji materi PP yang kontroversial sejak sebelum diterbitkan tersebut. Alasannya, Mahkamah Konstitusi tengah melakukan uji materi pasal yang berkaitan dengan PP Pengupahan.

Selain itu, gugatan ini mendapat dukungan dari berbagai gerakan buruh. Dalam gugatan, tercatat ada 14 konfederasi dan federasi sebagai penggugat dan satu ormas Rumah Rakyat Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement