Oleh: Mohammad Nashih Nashrulloh*
Bolehlah para wartawan senior itu (senior itu beda tipis dengan tua) sudah terlebih dulu dekat dengan Abah sejak menjabat sebagai ketua umum PBNU, selama dua periode. Tapi, saya pastikan mereka belum pernah Abah minta untuk mijitin jenengan, layaknya tradisi santri-kiai sewaktu mondok dulu.
Soal pijit memijit, expert banget sing enggak, Bah, begitu saya bilang ke jenengan sewaktu ikut kunker ke Kupang, NTT beberapa pekan jelang Abah dirawat karena sakit, hingga akhirnya, Gusti Pengeran, memilih memanggil jenengan, Bah. Setidaknya, saya tahu titik-titik mana yang harus diurut untuk keluhan kelelahan. Pengalaman bah, suka dipijit terapis refleksi gocapan sejam (ashli pake shad, terapis syar'i insyallah. Hehehe). Insyallah nayamul, Bah.
Beberapa menit saya urut jenengan, sayup terdengar dengkuran itu. Tak keras. Tapi cukup terindra telinga. Sesekali juga Abah mengajak bicara soal beragam soalan. Mulai dari ruwetnya aksi bela Islam, dan bagaimana sikap abah yang sebetulnya tidak setuju karena bagi Abah mereka-mereka ini ngajak gelut tanpa jurus dan strategi jitu, akibatnya sebelum jotos, mereka sudah kena pukul duluan (terbukti pentolan-pentolan aksi itu memang sedang 'bahstul masyakil bukan masail', kena pasal duluan semua, hehehe).
Namun, meski Abah tak sependapat, justru memutuskan merangkul dan mengayomi mereka. Bukan memusuhi dan apriori. "Lek ga ono sing ngopeni wong-wong iku terus arep dadi opo negoro, jika tak ada yang mencoba merengkul mereka, mau jadi apa negara."
Baiklah, simpan dulu detail pembicaraan kita ihwal mereka bah. Masih ada 100, 1000, dan haul2 jenengan dan masih butuh oret-oretan deleming macam ini, manfaat tidaknya ya embuh Bah. Sing penting kulo nulis. Sing penting kerjo. Yang penting telah berbuat walaupun sebatas menyusun huruf demi huruf, leres 'kan Bah?
Saat jenengan tersadar dari tidur 'ayam' itu, saya beranikan minta ijazah, resep di balik ceramah-ceramah Abah yang sukses menjadi magnet sekaligus sihir ajaib yang mampu
membuat orang sadar tanpa dicubit, baik tanpa disuruh, dan tertawa dengan sukarela.
Abah diam sejenak, namun hingga jari-jari ini keriting memijat, belum muncul juga ijazah itu. “Awakmu tirakat ae dulu (Kamu tirakat saja dulu),” begitu dawuh jenengan singkat. Well. Ini yang berat, Bah.
Laku tirakat itu sejatinya adalah jalan para salik, titian para ahli istiqamah, dan tangga menuju derajat pengamal ikhlas. Wes, itu semua masih buram dalam kamus hidup saya Bah. Dengkuran itu pun sayup kembali terdengar, saya memilih meninggalkan Abah dalam rehatnya.
Perbincangan itu membuka cakrawala saya tentang hakikat sebuah pengabdian dan bagaimana jerih payah kita itu meninggalkan bekas, tidak hanya dalam lembaran sejarah, tetapi menyisakan jejak di tiap kenangan dan hati mereka yang merasakan manfaat itu.
Belakangan, usai berbincang dengan Ibu Nyai Hasyim, semalam, di pungujung malam peringatan 40 hari wafatnya jenengan Bah, refleksi singkat mengantarkan saya pada kesimpulan tentang ijazah yang Abah urung memberikannya, yakni semoga saya salah tetapi jangan disalahin, hehe, ijazah itu adalah tentang keikhlasan. Ikhlas memberi tanpa pamrih, ikhlas mencintai meski ramai cacian dan kecurigaan, ikhlas berbuat walau kerap tak terlihat, tak dianggap, dan dilupakan.
Keikhlasan itulah yang tampaknya tengah raib dari elite negeri ini, keikhlasan itulah yang hilang dari suami atau istri, terhadap keluarganya, kiai terhadap umatnya, kekasih terhadap pasangannya, dan kian terkikis dari pribadi2 kita. Di titik ini, benar kata Abah, keikhlasan itu tidak tampak dan tak perlu ditampakkan, karena hasil keikhlasan akan terungkap saat ruh meninggalkan jasad kita.
Tapi, apa harus ajal takaran keikhlasan itu, Bah?
Lahul fatihah...
Depok, Senin (24/4) dini hari.
*Mohammad Nashih Nashrulloh, Jurnalis Republika