REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Para ulama perempuan berperan besar dalam meneguhkan nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan. Namun sayang, catatan tentang kiprah ulama perempuan dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia sangat kecil akibat konstruksi sejarah yang sepihak.
"Padahal ulama perempuan sama tugasnya dengan ulama laki-laki," ujar Ketua Panitia Pengarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Badriyah Fayyumi, usai menjadi pembicara dalam Seminar Internasional Ulama Perempuan di Kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Selasa (25/4).
Badriyah mengungkapkan, budaya patriaki selama ini berakibat pada tenggelamnya ulama perempuan dalam mengisi ruang-ruang publik. Padahal, banyak akademisi dan intelektual dari kalangan perempuan.
Badriyah menyatakan, melalui seminar dan kongres ulama perempuan, para ulama perempuan berbagi pengalaman untuk melakukan langkah-langkah dalam peneguhan eksistensi ulama perempuan. Dia menyatakan, penyelenggaraan kegiatan itupun mendapat dukungan luas dari ulama laki-laki maupun berbagai kalangan lainnya.
Selain Badriyah, Seminar Internasional Ulama Perempuan itu juga menghadirkan sejumlah ulama perempuan dari berbagai negara. Di antaranya, Mossarat Qadeem (Pakistan), Zainah Anwar (Malaysia), Hatoon Al-Fasi (Saudi Arabia), Sureya Roble-Hersi (Kenya), Fatima Akilu (Nigeria), dan Roya Rahmani the Ambassador of Afghanistan in Indonesia).
Acara itu merupakan rangkaian dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan di Pesantren Kebon Jambu, Babakan, Cirebon, 25 – 27 April 2017. Dalam kesempatan itu, ulama perempuan dari Arab Saudi, Hatoon Al-Fasi, mengungkapkan, ulama perempuan bertanggung jawab menyampaikan Islam moderat, kesetaraan dan kemanusiaan.
"Ketika kita bicara tentang perempuan Arab Saudi, hal yang menjadi lebih kompleks karena perempuan harus memikul beban tradisi negara Islam yang menjadikannya sangat kaku dalam semua tingkatan, baik politik, ekonomi dan sosial," kata Hatoon.
Sementara itu, ulama perempuan asal Pakistan, Mossarat Qadeem, mengungkapkan, peran perempuan di Paksitan saat ini sangat berat karena mereka tercerabut dari akarnya. Mereka yang seharusnya bisa mengembangkan keluarganya, kini mereka harus merawat para korban perang.
"Mereka seringkali juga mendapatkan perlakukan yang tidak menyenangkan, menjadi korban bom bunuh diri," kata Mossarat.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, mereka menjadi bingung dan bertanya kepada maulananya. Namun, tak jarang maulananya justru menginfiltrasi mereka dengan paham-paham radikal.
"Karena itu, ibu-ibu kami minta menjadi agen perubahan yang positif sehingga anak-anak tidak terlibat dalam radikalisme," kata Mossarat.