REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Sebagai tanggapan atas kerusuhan di daerah yang didominasi Muslim di Cina bagian barat, Beijing melarang nama-nama bayi Islami. Pemerintah daerah terbesar keempat di dunia itu tidak lagi membolehkan ada nama bayi yang dianggap terlalu religius, utamanya Islami.
Dilansir dari Sputnik, Rabu (26/4), ini merupakan perluasan peraturan yang diterapkan sejak 2015 yang telah membatasi penggunaan nama Muslim, termasuk Fatima atau Saddam. Salah seorang pejabat publik di Xinjiang, mengaku telah mendapat pemberitahuan tidak ada lagi nama bayi Islami.
"Jika keluarga Anda memiliki keadaan seperti ini (dianggap religius), anda harus mengganti nama anak anda," kata pejabat tersebut.
Mereka yang tidak mematuhi peraturan itu akan terima lebih dari sekadar pengucilan sosial karena akan ditolak miliki hukuo, dokumen identifikasi seperti ijazah. Dokumen itu sangat penting untuk seorang anak mendapat pendidikan, pekerjaan, atau tunjangan sosial lain.
Xinjiang merupakan rumah bagi sekitar 11 juta etnis Uighur, mayoritas Muslim yang banyak berasal dari Mongolia, Tajik, dan Kazakh. Masyarakat Xinjiang melihat pembatasan nama di Beijing sebagai diskriminasi, yang secara langsung ditujukan kepada budaya mereka.
Usai serangkaian kerusuhan di Urumqi Xinjiang pada 2009 lalu, pemerintahan Cina memang mengambil sejumlah langkah pembatasan yang membatasi ekspresi budaya Uighur. Sekitar 800 ribu pegawai negeri sipil di daerah tersebut dilarang untuk berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan.