Rabu 26 Apr 2017 10:14 WIB

Trump tak Lagi Gencar Dukung Marine Le Pen

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Kandidat presiden sayap kanan Prancis Marine Le Pen.
Foto: AP Photo/Kamil Zihnioglu
Kandidat presiden sayap kanan Prancis Marine Le Pen.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Setelah mendukung kandidat presiden sayap kanan Prancis, Marine Le Pen, pekan lalu, Presiden AS Donald Trump justru bungkam saat Le Pen berada di urutan kedua dalam pemungutan suara pada Ahad (23/4). Bungkamnya Trump dapat dikaitkan dengan sejumlah faktor, salah satunya adalah keengganan Gedung Putih untuk melibatkan diri dalam pemilu negara lain.

New York Times melaporkan, saat ini Trump lebih fokus pada pencapaian prestasinya setelah 100 hari menjabat sebagai presiden. Selain itu, Trump juga tampaknya mencium aroma kekalahan Le Pen dalam pemilu Prancis putaran selanjutnya.

Akan tetapi ada alasan yang lebih mendasar yang membuat Trump mengurangi antusiasmenya terhadap Le Pen. Kemenangan Le Pen dinilai akan menyulitkan Trump, terutama karena Trump berada dalam posisi yang lebih konvensional terkait NATO, Uni Eropa, dan Timur Tengah.

"Jika Anda menempatkan 'America First' di sebelah 'France First', maka kedua negara akan berjalan dengan cara mereka sendiri. Hal ini menunjukkan Le Pen tidak akan menjadi mitra yang Trump inginkan," kata Direktur Senior Urusan Eropa di Dewan Keamanan Nasional Charles A Kupchan dalam pemerintahan Presiden Barack Obama.

Le Pen telah berjanji akan menarik Prancis dari komando militer terpadu NATO, sebuah aliansi yang pernah dicemooh Trump namun kemudian didukung. Le Pen juga mengutuk serangan rudal AS ke Suriah.

Selain itu, Le Pen telah berjanji akan mengadakan referendum dalam waktu enam bulan mengenai apakah akan menarik Prancis keluar dari Uni Eropa. Langkah itu jika berhasil, hampir pasti akan menghancurkan serikat pekerja dan menyebabkan kekacauan di pasar keuangan global.

Poin terakhir itu tentunya akan membebani Trump. Kinerja pasar saham telah menjadi salah satu tolok ukur yang paling nyata dari penampilannya sebagai presiden.

Namun pesaing Le Pen, Emmanuel Macron, tampaknya akan meraih kemenangan telak di babak pemilu berikutnya. Hal itu dinilai melegakan mengingat kepercayaan investor bergantung pada stabilitas Uni Eropa yang terus berlanjut.

"Demi kesehatan psikologis dunia, akan lebih baik jika Macron menang," kata mantan duta besar AS untuk Jerman John C Kornblum yang kini berprofesi sebagai pengusaha di Berlin.

Pemilihan Le Pen dinilai akan memicu ketidakpastian terhadap Eropa dan NATO. Le Pen juga akan mempersulit upaya pemerintahan Trump menangani ISIS, perang saudara Suriah, Iran, Rusia, dan Afghanistan.

"Dia akan seperti de Gaulle, tapi lebih buruk," kata profesor sejarah militer di Johns Hopkins University Eliot A Cohen.

Charles de Gaulle merupakan mantan Presiden Prancis yang mendukung AS selama krisis rudal Kuba dan pada masa-masa awal Perang Vietnam. Namun, de Gaulle menarik diri dari komando militer NATO, hingga keputusannya dibatalkan pada 2009 oleh Presiden Nicolas Sarkozy.

Le Pen diduga tidak hanya akan menolak memberikan kontribusi anggaran lebih besar untuk NATO, dia juga kemungkinan akan menghindari operasi militer pimpinan NATO di tempat-tempat seperti Afghanistan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement