REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kapolri Jendral Tito Karnavian membenarkan tingginya potensi korupsi di lingkungan kepolisian. Menurutnya, akar permasalahan tersebut terjadi berasal dari sistem penganggaran yang tidak ideal.
"Celah suap itu ada. Ini memang permasalahan nasional," ujar Tito di Graha Sabha Pramana UGM, Rabu (26/4).
Menurutnya, selama ini ada sekitar 62 persen anggaran Polri dialokasikan untuk gaji personel yang mencapai 430 ribu orang. Sedangkan 25 persennya untuk kegiatan operasional. Lalu sisanya untuk pengadaan alat dan jasa.
Selain gaji, personel juga membutuhkan rumah dan berbagai sarana penunjang kebutuhan lain. Namun negara belum bisa menyediakan rumah dinas dan berbagai jaminan penunjang kehidupan. "Dari struktur ini kita bisa lihat potensi korupsi begitu besar," kata Tito.
Menurutnya, anggaran di setiap Polda saja pas-pasan. Begitupun di Polres dan Polsek yang sering kali kekurangan anggaran. Di sisi lain, jika anggaran untuk penyidikan kurang, pasti polisi bisa menyalahgunakan kewenangan. Hal tersebut dilakukan untuk menutupi biaya penyidikan kasus hingga tuntas.
Tito menjelaskan, saat ini penganggaran sebuah kasus di Polri menggunakan sistem indeks, dengan kategori kasus sangat sulit, sulit, sedang, dan ringan. Adapun indeks untuk kasus sangat besar senilai Rp 70 juta.
Karena itu, polisi pun membuat prioritas penyelesaian kasus dan seolah-olah menunjukkan bahwa pihak kepolisian hanya mengurusi kasus-kasus besar yang disorot media. Padahal, sering kali polisi harus menyelesaikan sebuah kasus dengan uang pribadinya sendiri.
"Misalnya di Yogyakarta ada pembunuhan, indeksnya kasus sulit, atensi masyarakat pun besar. Nah itu pasti Kapolda harus cari (anggaran) kiri kanan untuk menyelesaikan kasus tersebut," ujar Tito.
Maka itu, agar bisa menghilangkan potensi korupsi yang ada ia ingin anggaran Polri dibuat seperti KPK, yakni berdasarkan sistem at cost. Di mana seluruh biaya penyidikan dibebankan pada negara seluruhnya.
"Kami sebenarnya hanya minta tolong agar negara memberi kami anggaran at cost," kata Tito. Namun, ia mengakui bahwa permintaan tersebut sulit direalisasikan lantaran jumlah kasus yang ditangani Polri sangat banyak. Sementara anggaran negara terbatas.