REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Komisi Dakwah MUI Fahmi Salim menilai, pleidoi terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak sesuai dengan fakta persidangan. Menurut dia, jika Ahok tidak merasa bersalah, mengapa Ahok sempat meminta maaf.
"Pleidoi Ahok ini sangat ngawur, tidak sesuai dengan fakta hukum yang jelas," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (26/4).
Fahmi juga mempertanyakan, dalam pleidoi mengapa Ahok justru menyebut seolah-olah Buni Yani sebagai inti masalah. Buni Yani, kata dia, hanya mengambil cuplikan dari pidato Ahok yang terbukti dalam pidato itu memiliki unsur penistaan yang diunggah Humas Pemprov DKI.
"Di situ jelas, ada faktor kesengajaan melecehkan keyakinan umat Islam tentang al-Maidah 51, dan itu salah satu Alquran. Melecehkan satu ayat berarti melecehkan satu Alquran," katanya.
Fahmi menilai, Buni Yani justru menjadi salah satu faktor yang membantu umat Islam untuk mengetahui adanya tindakan pelecehan terhadap umat Islam. Semestinya, kata dia, yang dihukum adalah pelaku penistaan terhadap umat islam, bukan yang menyebarkan.
"Itu (pidato Ahok di Kepulauan Seribu) sebagai satu tindakan yang tidak wajar sebagai seorang pemimpin," katanya lagi.
Fahmi mengatakan, jika Ahok dalam pledoinya tidak merasa bersalah, mengapa Ahok beberapa waktu lalu meminta maaf dan menyatakan bahwa dia tidak menyesal atas perbuatannya. Ahok juga, kata dia, sempat mengulangi tindakannya dengan arogan ingin membuat WIFI al-Maidah 51 dengan password kafir.
"Ini juga kan sudah mengolok-olok Alquran dan mengolok-olok keyakinan umat Islam," ujarnya.