Kamis 27 Apr 2017 02:08 WIB

Ekonom: Risiko Pemangkasan Belanja Tetap Ada di Semester Kedua

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Pemotongan Anggaran (ilustrasi)
Pemotongan Anggaran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat ekonomi menilai masih ada risiko pemangkasan anggaran belanja pemerintah di paruh kedua 2017. Meski sebelumnya, pemerintah menegaskan bahwa tidak akan ada pemangkasan anggaran di tahun ini seperti yang terjadi tahun 2016 lalu.

Peneliti Institute of Development for Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, defisit fiskal tahun ini diprediksi berada di atas target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yakni  2.41 persen. Hal ini, menurutnya, berujung pada shortfall penerimaan negara yang masih cukup besar.

Apalagi penerimaan perpajakan diprediksi hanya bisa mencapai 85 persen dari targetnya sebesar Rp 1.498 triliun. "Prediksi defisit bisa mencapai 2.6 persen. Masih dalam batas aman 3 persen sesuai UU keuangan negara tapi cukup berisiko," kata Bhima, Rabu (26/4).

Selain itu, ia juga menilai bahwa berjalannya program amnesti pajak belum cukup mampu menambah sumber penerimaan pajak secara signifikan. Hal ini ditambah masih lesunya ekonomi global, terutama sektor industri dan perdagangan.

Ia memperkirakan pemerintah akan menggantungkan tambahan penerimaan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas, lantaran harga minyak mentah yang mulai merangkak naik meski tipis, ke level 50-an dolar AS per barel.

"Tapi ini bukan tanpa risiko. Profil risiko utang tidak hanya dilihat dari rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) yang diklaim masih rendah dibanding negara lain atau 27 persen. Kita sudah masuk kondisi utang baru untuk membayar utang," katanya.

INDEF mencatat, defisit keseimbangan primer Indonesia di tahun 2012 saja mencapai Rp 72,3 triliun. Angka ini membengkak menjadi Rp 111 triliun di tahun 2017 ini. Artinya, menurutnya pemerintah perlu menyiapkan uang yang lebih banyak karena puncak jatuh tempo pembayaran utang ada di tahun 2019 mendatang.

Ia menyebutkan, total utang jatuh tempo dari 2017 hingga 2019 menyentuh Rp 829 triliun. "Melihat kondisi itu sebaiknya pemerintah harus lebih hati-hati dalam menambah utang. Sehingga berat kalau dibilang tahun ini tak ada pemangkasan belanja lagi," ujar Bhima.

Sebelumnya, pemerintah menegaskan bahwa tak akan ada pemangkasan anggaran di tahun 2017 ini, mengulang kebijakan serupa pada tahun 2016 lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, optimisme ini muncul lantaran pendorong pertumbuhan ekonomi, yang investasi, konsumsi pemerintah, dan konsumsi rumah tangga bisa berjalan di "jalur yang benar" tahun ini.

Alih-alih melakukan pemangkasan anggaran, lanjut Sri kepada Reuters, pemerintah memilih melakukan efisiensi anggaran termasuk dengan merealokasikan sejumlah pos anggaran yang dianggap bukan prioritas menjadi prioritas. Sri menyebutkan, belanja negara akan diprioritaskan untuk kegiatan-kegiatan prioritas seperti pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur.

Sri juga menilai, iklim perbankan global juga tak lagi sulit apalagi setelah lembaga pemeringkat seperti JP Morgan Chase Bank NA memutuskan untuk memperbaiki kembali peringkat Indonesia dalam hal rekomendasi portofolio obligasi. Indonesia dinaikkan peringkatnya dari underweight (merah) ke netral (kuning).

Selain itu, kepercayaan diri atas kondisi ekonomi domestik saat ini tak lepas dari langkah yang diambil Sri ketika pertama kali bertugas kembali di Indonesia setelah menghabiskan waktu enam tahun di Amerika Serikat.

Seperti diketahui, aksi Sri yang kemudian sempat menimbulkan pro dan kontra adalah pemangkasan anggaran hingga Rp 133,8 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Langkah tersebut dilakukan demi menjaga defisit fiskal Indonesia di bawah garis batas 3 persen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement