REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan dan tata kota DKI Jakarta belakangan ini sarat dengan praktik penertiban yang berujung penggusuran. Tempat tinggal warga pun tak luput dari praktik ini. Misalnya, dua proyek normalisasi Ciliwung dan Pembangunan Jalur Kereta Api di Manggarai.
Satker Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Fikri Abdurrahman mengatakan, 235 orang di Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan, tempat tinggalnya akan digusur. Mereka akan direlokasi ke Rumah Susun Rawa Bebek yang disiapkan Pemprov.
Salah satu warga RT 3 RW 12 Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan, Rosanah (57 tahun) mengatakan, ia sudah pasrah untuk dipindah. Rosanah telah tinggal di sana sejak 1973. Bahkan, ia kini telah memiliki enam orang cucu dari dua orang anaknya.
Menurut dia, kedekatan antarwarga di tempat itu sudah terjalin sejak lama. “Kita di sini sudah puluhan tahun, dari 1970-an, jadi udah kayak keluarga semua,” ujar wanita asal Bogor itu.
Rosanah paham jika ia dan tetangganya harus meninggalkan rumah itu karena proyek normalisasi Ciliwung. Namun, ia ingin sekali lagi merasakan ibadah puasa dan lebaran bersama warga sekitar. Rosanah berharap, relokasi bisa menunggu hingga usai lebaran tahun ini. “Ya biar silaturahim terakhir di sini, salam-salaman dulu, puasa dulu, habis itu boleh deh,” ujarnya.
Senada dengan Rosanah, Aminah juga mengharapkan relokasi tidak segera terjadi. Aminah yang anaknya masih duduk di kelas enam bangku sekolah dasar itu mengaku kurang setuju dengan waktu relokasi. Pasalnya, anaknya sebentar lagi melaksanakan ujian kelulusan.
Aminah berharap pemerintah mempertimbangkan hal itu, mengingat proses administrasi pemindahan sekolah cukup sulit jika dilakukan di tengah tahun ajaran. “Kan tanggung, setelah lulus atau pas liburan sekolah itu kan pas,” kata wanita 45 tahun itu.
Masih tetangga Rosanah, Qomariah, sejujurnya tidak setuju dengan relokasi. Ia pun paham dengan tujuan relokasi untuk menormalisasi sungai Ciliwung. Namun, ikatan emosional antara diri dan lingkungannya sudah terbangun dengan erat. “Kalau panas kepanasan, hujan kebanjiran, tapi sudah biasa dan nyaman kayak gitu,” kata dia.
Tak berhenti disitu, Qomariah juga mengkhawatirkan akses fasilitas saat mereka berpindah ke tempat relokasi nantinya. Dia berharap kebutuhan akan akses fasilitas umum bisa dekat. "Kalau bisa pasar sama sekolah dideketin," ujarnya.
Sedangkan Warga RT 3 Bukit Duri Tebet Jakarta Selatan Bahruddin (63) mengaku cukup puas dengan calon tempat tinggalnya di Rusun Rawa Bebek. Menurut dia, kondisi bangunannya cukup layak. “Kalau yang ini bagus, baru soalnya,” kata dia.
Sementara di Manggarai, keadaannya lain dengan Bukit Duri. Warga masih belum menemukan titik temu dengan PT KAI soal kepemilikan lahan. PT KAI menyurati 11 Rumah di RT 1 dan RT 2 RW 12 untuk segera mengosongkan rumah mereka. PT KAI bahkan sudah menyurati mereka tiga kali.
Salah satu warga yang namanya ada dalam surat pemberitahuan PT KAI, Sabransyah bahkan tidak mengakui keabsahan surat itu. Pasalnya, namanya bahkan ditulis tidak benar. Dalam surat pemberitahuan pertama, namanya hanya tertulis Bran saja. Bahkan, beberapa nama yang dicatut PT KAI menurut Sabransyah sudah wafat.
Sabransyah menyayangkan ketidakterbukaan dan keengganan pihak PT KAI untuk berkomunikasi. "Kita sebagai orang timur, kan baiknya ada kulonuwun (terima kasih) terlebih dahulu kalau mau membongkar, jadi jangan asal memberi surat pemberitahuan hari apa akan dibongkar," ujar dia.
Menurut Sabransyah, ia sebagai warga negara yang baik sebenarnya mendukung proyek pembangunan pemerintah. Hanya saja, ia mempermasalahkan soal prosedur dan penggantian yang tidak jelas dari PT KAI. PT KAI menawarkan 250 ribu rupiah per meter persegi untuk rumahnya yang permanen. Ia pun memutuskan untuk bertahan hingga ada kejelasan dengan PT KAI. "Kita akan terus bertahan sampai komunikasi yang baik terbangun dan ada kejelasan," katanya.
Warga RW 12 Manggarai lain yang tercatat dalam surat pemberitahuan PT KAI, Muhammad Ruslan mengatakan akan menunggu mediasi yang akan dilakukan PT KAI dengan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), DPRD DKI Jakarta, dan Komnas HAM. Ia sebagai warga memercayakan pada ORI, DPRD dan Komnas HAM sebagai fasilitator mereka.
Ruslan cemas memikirkan tempat tinggalnya yang akan terkena dampak penggusuran proyek kereta api. Ia mempercayakan pada PBHI sebagai fasilitator mereka dalam membantu permasalah mereka. Ruslan pun akan tetap memantau pertemuan antara PT KAI dan ORI karena ia meyakini bukan hanya 11 rumah yang akan terdampak penertiban di Manggarai. "Ini kan bukan hanya menyangkut 11 rumah, tapi kan semua nantinya mungkin akan kena," kata dia.
Ketua RW 12 Manggarai, Katimin (70) berharap agar warga yang telah menetap di situ sejak tahun 50-an tidak digusur. Pasalnya, mereka telah tumbuh di lingkungan itu dan berkeluarga sejak lama. Pajak bumi dan bangunan pun dibayar dengan lancar. "Ya nggak muluk-muluk lah, semoga jangan sampai digusur, ini tanah kita, saya sudah di sini sejak masih belum ada apa-apa," ujarnya.