REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengaku dapat kembali melakukan percakapan melalui telepon dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Kamis (27/4). Ia mengatakan kesemapatan untuk berkomunikasi kali ini akan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hubungan kedua negara.
"Kami memiliki kesempatan untuk berkomunikasi lebih dengan Pemerintah AS dan tidak mengecualikan kemungkinan untuk kembali berbicara dengan Presiden Trump," ujar Tsai dalam sebuah wawancara.
Pada Desember 2016 lalu, Tsai dan Trump melakukan panggilan telepon untuk pertama kalinya. Meski hal ini sempat menimbulkan ketegangan antara AS dan Cina terkait kebijakan yang diterapkan atas Taiwan.
Sejak mendapat protes dari Negeri Tirai Bambu dan melakukan pembicaraan dengan Presiden Cina Xi Jinping, Trump juga telah sepakat untuk menghormati Kebijakan Satu Cina.
Tepatnya pada Februari lalu, Trump mengatakan akan terus mempertahankan dasar dari hubungan diplomatik yang pertama kali disetujui pada 1979 lalu dan meningkatkan kerja sama dua negara.
Kebijakan Satu Cina memuat ketentuan bahwa Taiwan dianggap sebagai bagian dari Republik Cina. Dengan demkian, secara otomatis, setiap negara yang membuka hubungan diplomatik dengan Cina tidak diperkenankan menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan.
Meski demikian, Tsai mengatakan hubungan antara Taiwan dan AS tetap akan terus meningkat. Selama ini, AS dianggap sebagai sekutu politik negara di Asia Timur itu. Kerja sama juga dilakukan kedua negara. AS selama ini juga menjadi salah satu pemasok senjata utama untuk militer Taiwan.
"Taiwan tidak mengesampingkan kemungkinan untuk membeli alat pertahanan yang canggih, seperti jet tempur dengan jenis F-35 jika dibutuhkan dalam waktu dekat," jelas Tsai.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan Cina mengatakan pihaknya menentang seluruh penjualan senjata yang dilakukan terhadap Taiwan, khususnya dari AS.