REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, menilai, cuitan Boni Hargens di Twitter, Kamis (28/4) malam, bermakna sinisme dan penuh kecurigaan. Pengamat dan aktivis seperti Boni Hargens seharusnya bisa lebih menunjukkan kesportifan dan tidak mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakitkan pihak lain.
“Bagi saya, itu sinisme ya. Penuh kecurigaan, yang sifatnya pada pembelaan pada paslon yang kalah. bahwa yang kalah harus menang, yang kalah paling hebat. Dan itu gak fair, mereka (paslon unggul) kan belum kerja,” kata Warlan saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (28/4).
Warlan menyayangkan, mengapa kata-kata bernada sinisme tersebut harus keluar dari aktivis intelektual dan guru besar seperti Boni. Warlan mengatakan, walaupun Boni bergabung dengan penguasa dan wajar pula jika Boni membela salah satu pasangan calon, tapi konteks tulisan atau perkataan harus tetap mencerminkan keintelektualan, kerasionalan, dan objektif.
“Nah itulah, ketika seorang akademisi intelektual bergabung dengan penguasa, dia pasti punya anggapan penguasa itu harus benar, tidak boleh disalahkan, dan Ahok itu bagian dari istana. Wajarlah membela-bela itu, tapi jangan sampai menyakiti pihak lain,” kata Warlan.
Warlan mengimbau, seorang pengamat dan akademisi seharusnya bisa menjadi penetralisir dalam suatu keadaan-keadaan yang mengkhawatirkan seperti sekarang. Pengamat dan aktivis intelektual harus bisa lebih arif dan bijak dalam berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Sebelumnya, dalam akun Twitter milik pengamat politik sekaligus komisaris LKBN Antara, Boni Hargens, @bonihargens menulis sebagai berikut: "Kemenangan ini seperti pil yang diberikan pada anak superautis. Biar adem aja. Tapi tak akan menyembuhkan autisme dlm sekejap. #Salam Jakartabaru#". Namun, selang beberapa saat, cuitan tersebut hilang dari lini masa akun Twitter Boni Hargens.