REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan menegaskan untuk tetap mengejar 22 obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Meski belum mau memberikan keterangan rinci, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa jumlah obligor tersebut yang sampai saat ini ada dalam data pemerintah.
"Jumlahnya nanti saya lihat. Pokoknya ada 22 obligor yang selama ini ditangani oleh Kemenkeu. Nanti saja ya," ujar Sri ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (24/4).
Sementara itu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Sonny Loho mengatakan bahwa sejak awal sudah ada sejumlah obligor yang melunasi utangnya. Hingga saat ini, tersisa Rp 31 triliun yang belum dibayarkan dari 22 obligor tersebut.
""Ini ada yang diurus kita, seperti Sjamsul Nursalim (obligor dari BDNI) kan waktu ke Kemenkeu dianggap sudah tidak ada (utang). Sudah ada SKL-nya (Surat Keterangan Lunas)," ujarnya.
Artinya, yang ditangani Kementerian Keuangan adalah obligor-obligor yang memang belum mendapat SKL dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Ada Rp 31 triliun yang masih kita urus, yang mana dulu waktu dilimpahkan belum selesai. Dan itu diurusnya ada di Kemenkeu, ada yang kerja sama dengan Kejaksanaan dan Kepolisian. Ditagih Kemenkeu. Jadi dikejar terus," kata Sonny.
Meski begitu, Sonny menekankan bahwa perkara hukum yang ada tetap harus dirampungkan. Alasannya, ada sejumlah selisih pendapat tentang status utang oleh obligor. "Kan kadang-kadang ada yang berpendapat mereka tidak ada utang lagi, tetapi menurut kita ada. Ini masih diusahakan terus, yang waktu dilimpahkan (kepada Kemenkeu untuk penagihan) belum tuntas, masih kita tagih," kata Sonny.
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam mengatasi masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu.
Namun, dalam perjalanannya, audit investigasi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Agustus 2000 terhadap penyaluran dan penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menemukan adanya penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,442 triliun. Jumlah potensi kerugian tersebut mencapai 95,78 persen dari total BLBI yang disalurkan pada 29 Januari 1999.