REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sangat menyedihkan bila menyaksikan dakwah dan syiar Islam di Turkmenistan. Sebagai negara dengan jumlah pemeluk agama Islam mayoritas (89 persen), nuansa keislaman dan dakwah Islam justru terasa kering.
Ajaran agama Islam hanya dijalankan sebagai sebuah ritual semata. Bahkan, terkadang Islam cuma sebuah simbol atau pengakuan tanpa bukti konkret implementasinya.
Padahal, negara tetangga mereka, seperti Uzbekistan dan Afghanistan, agama Islam berkembang dengan baik. Di negara yang terletak di kawasan Asia Tengah ini, Muslim Sunni merupakan mayoritas, sedangkan Syiah hanya sedikit. Sekitar sembilan persen penduduk Turkmenistan memeluk agama Kristen Ortodoks.
Mungkin semua ini disebabkan oleh pengaruh ateis karena lamanya negara ini berada dalam cengkraman kekuasaan komunis Uni Soviet. Turkmenistan baru merdeka pada 1991. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa kurang berkembangnya syiar dan dakwah Islam di negara tersebut karena tidak adanya kebijakan tegas dari pemerintah, terutama sejak dipimpin oleh Saparmurat Niyazov, yang meninggal pada 2005 silam.
Islam masuk ke kawasan ini pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (7 Masehi). Misi dakwah terus berlanjut sehingga masa Usman bin Affan. Turkmenistan makin dikenal luas ketika Khalifah Ma'mun Ar-Rasyid dari dinasti Bani Abbasiyah memindahkan ibu kota kerajaan Khorasan Raya ke Merw. Wilayah ini pada abad 11 M berada di bawah kekuasaan Turki dan Bani Seljuk.
Selanjutnya, pada abad 13 M, wilayah ini jatuh ke tangan bangsa Mongol, ketika Jengis khan melakukan invasi secara luas di kawasan Asia Tengah, termasuk Turkmenistan. Bangsa Mongol mempertahankan kontrol atas wilayah Turkmenistan sebelum dikalahkan oleh bangsa Uzbek dua abad kemudian.
Sampai tujuh abad kemudian, kekuasaan muncul silih berganti. Namun, semua itu tak memberikan arti apa-apa bagi Turkmenistan, kecuali hanya perpindahan dari satu sistem pemerintah ke sistem pemerintahan lainnya.
Perubahan besar baru benar-benar terjadi dalam kehidupan bangsa Turkmen saat dikuasai Rusia. Bangsa Turkmen didorong untuk menganut sistem sekular dan mengadaptasi cara berpakaian bangsa Eropa. Aksara yang sebelumnya menggunakan Arab diubah ke Latin, dan akhirnya menggunakan Aksara Sirilik. Akibatnya, mereka meninggalkan cara-cara tradisional.
Namun, sama saja bagi masyarakat, kekuasaan komunis justru makin menekan kehidupan ibadah umat. Keyakinan keagamaan makin direduksi. Pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik tradisi maupun praktik-praktik keagamaan juga banyak dilarang. Bahkan, masjid-masjid yang telah berdiri kokoh sebagai tempat beribadah juga ditutup oleh pemerintah Uni Soviet. Karenanya, berkembanglah Ateisme dalam kehidupan warga Turkmenistan.
Doktrin-doktrin Ateis berusaha mengisolasi Turkmenistan dari komunitas Muslim internasional. Sebagai gantinya didirikan Lembaga Muslim Asia tengah yang berpusat di Tashkent, ibu kota Uzbekistan. Fungsi utama lembaga ini tidak banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan Islam.
Sebaliknya, malah lebih menguntungkan program Uni Soviet dalam mengawasi perkembangan dan penyebaran Islam di Asia Tengah. Selain itu, juga banyak intervensi yang dapat mereka lakukan. Yang pasti, aktivitas keislaman dikontrol secara ekstraketat.
Disarikan dari Pusat Data Republika