REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur CBA, Uchok Sky Khadafi mengapresiasi kinerja KPK dalam meningkatan status penyelidikan ke penyidikan terhadap kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dari peningkatan status ini, KPK baru menetapkan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syarifuddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai tersangka.
"Meski Syafrudin Arsyad Temenggung sudah ditetapkan sebagai tersangka, KPK perlu memperkuat data karena dari audit BPK tahun 2006," kata Uchok lewat keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Sabtu, (29/4).
Uchok mengataka , BPK sudah melakukan pemeriksaan tentang penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) atas laporan pelaksanaan tugas BPPN, yang menyatakan SKL layak diberikan kepada pemegang saham BDNI. Menurut Uchok, berdasarkan temuan hasil audit BPK, pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002.
Dalam menyelesaikan masalah BLBI, KPK disarankan membidik bank-bank lain penerima BLBI yang tidak kooperatif terhadap BPPN, bahkan mereka menantang BPPN, dengan tidak mau membuat perjanjian PKPS. Di antaranya, Bank Deka, Centris, Aspac, BCD, Dewa Rutji, Arya Panduartha, Dharmala, dan Orient.
"Terhadap bank-bank tersebut dilakukan langkah hukum, namun demikian dalam proses pengadilan ternyata negara kalah melawan bank-bank tersebut," ujarnya
Selain itu, menurut data Uchok, ada juga bank-bank penerima BLBI yang menandatangani perjanjian PKPS dengan BPPN, namun tidak mau bayar dan tidak menyelesaikan kewajibannya. Yaitu BUN, Modern, PSP, Metropolitan, Bahari, Aken, Intan, Tata, dan Servitia.
"Bank bermasalah yang membuat PKPS dan baru bayar sebagian adalah Lautan Berlian, BIRA, Namura, Putera Multi Karsa, dan Tamara," katanya.
Untuk itu, KPK harus memburu bank-bank plat merah, yang sampai sekarang tidak ketahuan rimbanya, padahal nilainya jauh lebih besar. Penyalurannya seperi apa, penggunaanya seperti apa, sama sekali tidak ketahuan, lantaran BPPN juga tidak menerima mandat untuk menyelesaikan BLBI kepada bank-bank milik Negara.
Kasus BLBI bermula dari penyaluran bantuan Bank Indonesia terhadap bank yang terimbas krisis ekonomi, sebesar Rp 144,5 triliun untuk 48 bank bermasalah. Dari total penyaluran tersebut, menurut KPK Negara merugi sekitar sekitar Rp 138 triliun, lantaran pinjaman tersebut bermasalah dan tidak dikembalikan.
Sedangkan yang dimaksud merugikan Negara sebesar 138 triliun, dalam laporan audit BPK atas penyaluran, penggunaan dan penyelesaian BLBI, adalah adanya temuan penyimpangan terhadap ketentuan, kelemahan sistem dan kelalaian penyaluran BLBI. Penyimpangan tersebut ditemukan pada saat penyaluran dari BI kepada bank-bank bermasalah.
Sedangkan dalam penggunaan dana BLBI oleh bank-bank penerima BLBI ditemukan penyimpangan sebesar Rp 84 triliun. Dari audit yang dilakukan oleh BPK, nilai komersial jaminan BLBI hanya sebesar Rp 12,34 triliun atau hanya 9,54 persen dari total BLBI.