Oleh Lukman Hakiem*
Pada suatu hari di tahun 1928, di depan massa Partai Nasional Indonesia (PNI), Ir Sukarno menyerukan agar massa partai yang baru dibentuknya itu mencintai Tanah Air.
"Ibumu Indonesia terasa amat cantik. Cantik langitnya dan buminya. Cantik gunungnya dan rimbanya, cantik lautnya dan sungainya, cantik sawah dan ladangnya, cantik gurun dan padangnya. Hawanya yang terlebih baik, terlebih sehat, dan terlebih sejuk bagi kamu. Ibumu Indonesia teramat baik. Airnya yang kamu minum. Nasinya yang kamu makan."
Maka, lanjut Sukarno, tidak lebih dari wajibmu, apabila kamu memperhambakan, membudakkan dirimu kepada Ibumu Indonesia, menjadi putera yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.
Pidato itu kemudian mendapat tanggapan dari H Agus Salim. Dalam tulisannya di harian Fadjar Asia yang didirikan HOS Tjokroaminoto bersama H Agus Salim, pidato Sukarno itu ditanggapi Salim dengan tulisan berjudul "Tjinta Bangsa dan Tanah Air (Nasionalisme dan Patriotisme)".
Menurut Salim, seruan Sukarno itu alasannya benar, tujuannya tidak! Salim kemudian menunjuk sejumlah contoh betapa atas nama Tanah Air, banyak bangsa merendahkan derajat bangsa lain.
"Inilah bahayanya kita 'menghamba' dan 'membudak' kepada 'Ibu Dewi' yang menjadi tanah air kita itu dengan sendirinya saja: karena eloknya dan cantiknya, karena kayanya dan baiknya, karena airnya yang kita minum, karena nasinya yang kita makan," tulis Salim.
Selanjutnya Salim menulis: "Atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka, tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan. Atas dasar perhubungan yang karena benda dan ikhlas, dan tawakkal, yang sampai menyabilkan nyawa. Sebab benda dan rupa dunia habis gunanya, apabila nyawa sudah tiada."
"Maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga dengan cinta tanah air kita mengajukan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaannya yang batas dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah subhanahu wa taala."
Bagi Salim, hanya dengan lillahi taala kita tidak akan menyimpang dari jalan hak, keadilan, dan keutamaan.
"Alangkah untung Ibu Indonesia jika putra-putrinya hendak mencontoh sedikit cinta yang karena Allah belaka itu kepadanya," kata Salim menutup tulisannya seraya merujuk cinta tanah air model Nabi Ibrahim yang tidak peduli apakah Tanah Airnya cantik atau tidak, kaya atau tidak, dan pengasih penyayang tanahnya atau tidak.