REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hak angket yang digulirkan DPR RI untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dinilai tidak sah dan tak memenuhi aspek persyaratan pengajuan hak angket. Pengamat Hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Syafrani mengatakan setidaknya harus ada ukuran objektif untuk melakukan hak angket DPR yakni harus berkaitan hal-hal strategis dan berdampak luas ke masyarakat.
Namun, kata dia, kini salah satu alasan yang menjadi dasar pengajuan hak angket justru berkaitan dengan penegakan hukum terhadap anggota DPR RI terkait kasus korupsi KTP elektronik. "Makanya kasus Miryam ini, apakah ini berdampak ke rakyat banyak apa jangan-jangan ini cuma berdampak ke Senayan saja tetapi pakai hak angket," kata Andi dalam diskusi di Kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (29/4).
Karenanya, ia pun meminta kepada para pengusul hak angket untuk menjelaskan kerangka dasar pengajuan hak angket tersebut, jika memang dikatakan kauss Miryam tersebut berdampak pada masyarakat luas.
Menurutnya, pengajuan hak angket secara institusional harus memiliki alasan objektif. Andi mengatakan, apa yang dijelaskan perwakilan pengusul hak angket Taufiqulhadi juga sama sekali tidak memenuhi unsur persyaratan dapat dipergunakan hak angket.
"Soal tata anggaran KPK itu tahun 2015 kenapa baru sekarang padahal sudah ditindaklanjuti KPK, lalu terkait kebocoran dokumen 'wong' itu kan kejadian sudah cukup lama, lalu tata kelola komunikasi KPK yang dipersoalkan terkait trial by press ini juga periode lalu," kata Andi.
Hal sama diungkapkan oleh Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz yang menilai kalau memang hak angket dilakukan karena adanya dugaan pelanggaran undang-undang oleh KPK. Maka seharusnya dilampirkan bentuk pelanggaran tersebut dalam pengusulan pengajuan tersebut.
"Kalau internal KPK tidak harmonis apakah ada bukti dan apalah harmonis itu jadi persoalan dan bertentangan di UU. Harusnya poin itu dicantumkan apa yang dilanggar tapi ini kan tidak," kata Donal.