REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya mengatakan sembilan seruan Menteri Agama yang mengatur materi dakwah dinilai tidak tepat sasaran. Karena jika Negara ingin menekan radikalisme, seharusnya memberikan solusi-solusi praktis bagi masyarakat bukan membatasi konten ceramah.
“Yaitu dengan lebih awal membaca secara holistik problem akar dari radikalisme yang lahir di dunia Islam secara umum termasuk Indonesia di dalamnya,” ungkap Harist dalam keterangan tertulis pada Republika.co.id, Senin (1/5).
Dia mengatakan, setidaknya ada tiga akar masalah atau faktor lahirnya radikalisme. Pertama, faktor rasa ketidakadilan baik dalam konteks domestik maupun global di dunia Islam yang perlu jawaban tuntas dan solusi.
Menurut Harits, selama konstelasi dunia masih unipolar yakni ketika Amerika menjadi sumbu putarnya, maka Islam akan apatis dan pesimis keadilan global di dunia Islam akan terealisir. Sehingga persoalan ini butuh solusi konkrit.
“Kedua, faktor kemiskinan tidak jarang menjadi stimulan lahirnya tindakan-tindakan bias dan keputusasaan dalam kehidupan sosial, dan hal ini kuncinya adalah pendidikan. Sikap rasional dan proporsional sangat terkait dengan level pemikiran seseorang, pendidikan punya peran krusial atas perkara tersebut,” jelas Harist.
Selain itu, ia juga mengatakan, persoalan ekonomi yang bermartabat yang menjadi problem mendasar kemiskinan harus dapat segera diatasi.
Baca juga, Radikalisme Tidak Lahir dari Paham Agama.
Harist menegaskan, jika tiga faktor ini terabaikan oleh Negara, dan Negara justru fokus melakukan perang pemikiran de ngan membatasi konten ceramah, ini akan sarat dengan perdebatan.
“Karena tidak mungkin konten ceramah itu melulu, dan kebutuhan masyarakat Islam adalah pencerahan dalam banyak aspek terkait kehidupan mereka,” kata Harist.