REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lonjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) Ilegal mengkhawatirkan nasib buruh di Indonesia. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat, menilai banyak masalah ketenagakerjaan muncul sejak kepemimpinan Presiden Jokowi pada 2015.
"Tenaga kerja asing ilegal asal Tiongkok terutama, sangat mendominasi dan menyerbu seluruh perusahaan-perusahaan. Lapangan pekerjaan yang dibuat bukan untuk tenaga kerja Indonesia, tapi untuk tenaga kerja asing ilegal tersebut," kata Mirah Sumirat kepada Republika.co.id, Senin (1/5).
Mirah menguraikan ada dua masalah utama yang muncul akibat lonjakan tenaga kerja asing ilegal. Kondisi ini jelas mengancam kesejahteraan tenaga kerja lokal. Pertama, mereka yang datang ke Indonesia adalah buruh-buruh kasar. Pekerjaan mereka sebenarnya bisa dilakukan oleh tenaga kerja lokal atau orang Indonesia.
Kedua, upah tenaga kerja asing di atas upah tenaga kerja lokal. Jika tenaga kerja lokal mendapat Rp 1 juta - Rp 3 juta sesuai UMP, mereka bisa memperoleh Rp 10 juta - Rp 15 juta per bulan untuk jenis pekerjaan yang sama. Menurut Mirah, realitas ini menimbulkan kesenjangan sosial bagi tenaga kerja lokal.
Aktivis buruh ini menduga ada oknum pejabat pemerintahan dan juga aparat keamanan yang mendukung tenaga kerja asing ilegal sehingga akhirnya mereka bisa masuk seenaknya. Ada "main mata" dengan oknum pemerintahan atau keamanan sehingga tenaga kerja ilegal bebas beraktivitas.
"Masa iya orang-orang Cina atau Tiongkok itu bisa tahu tambang emas yang ada di Bogor. Yang di tengah hutan. Kalau nggak dapat informasi dari para oknum-oknum pejabat pemerintahan atau aparat keamanan di sini saya kira," kata Mirah, merujuk pada penggerebekan sebuah kawasan penambangan emas di tengah hutan di Kabupaten Bogor, awal tahun 2017.
Mirah juga mengkritisi kecenderungan otomatisasi, robotisasi, dan digitalisasi yang mulai dilakukan perusahaan-perusahaan. Salah satunya, perusahaan pengelola layanan jalan tol. Manusia digantikan oleh mesin lewat transaksi non tunai. Ia khawatir ribuan tenaga kerja terancam dirumahkan dengan kebijakan tersebut, jika tidak dibarengi regulasi yang memihak kaum buruh.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) juga menuntut agar tenaga kerja honorer, baik guru honor maupun pegawai honor, dari level kelurahan, kecamatan, sampai pemerintah daerah bisa diangkat. Ada tenaga honor yang sudah bertahun-tahun mengabdi, bahkan sampai 10-15 tahun, tapi belum diangkat. Upahnya jauh dari kata sejahtera. Beberapa kasus guru honorer di daerah hanya mendapat Rp 100 ribu - Rp 300 ribu per bulan.
"Kesimpulannya, kesejahteraan tenaga kerja atau buruh di Indonesia sepanjang pemerintahan Jokowi-JK kini makin turun, makin miskin, nggak ada peningkatan sama sekali. Kalau Menaker bilang ada peningkatan itu bohong," ujarnya.
Lebih lanjut, Mirah juga menyoroti buruknya kinerja Kementerian Ketenagakerjaan yang dinilai belum dapat menghadirkan kesejahteraan bagi kaum buruh.