REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap penyakit ada obatnya. Menurut Nabi Muhammad, jika sakit telah diobati, penyakit tersebut akan sembuh dengan izin Allah SWT. Dalam pernyataan lainnya, ia menegaskan, Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga menurunkan obatnya. Oleh karena itu, setiap orang termasuk Muslimah yang menderita penyakit mesti berobat.
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah dan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah melalui bukunya, Fiqih Wanita, laki-laki boleh mengobati perempuan dan sebaliknya perempuan pun boleh mengobati laki-laki jika dalam keadaan darurat. Bahkan kala keadaan terpaksa, dokter laki-laki tak mengapa melihat aurat perempuan yang menjadi pasiennya.
Rubayyi binti Muawwidz bin Afra meriwayatkan apa yang pernah dialaminya. "Kami ikut berperang bersama Rasulullah dan bertugas melayani dan memberi minum tentara serta mengantarkan jenazah ke Kota Madinah." Keterangan ini dijadikan dasar praktik pengobatan yang melibatkan dokter dan pasien yang berlawanan jenis.
Al Hafiz dalam Al-Fatah memandang boleh mengobati orang-orang berbeda jenis kelamin dalam keadaan darurat. Ibnu Muflih, yang dikutip Sabiq, menyampaikan pendapat senada. Menurut dia, bila suatu saat ada seorang perempuan jatuh sakit dan tak ada dokter yang mengobatinya kecuali laki-laki, tak ada masalah dokter itu melihat anggota tubuh perempuan, termasuk bagian kemaluan.
Di sisi lain, seorang Muslimah dapat berobat kepada dokter perempuan yang non-Muslim. Tentu saja, dokter itu memang ahli dan dipercaya serta tak ada dokter Muslimah yang menguasai spesialisasi ilmu yang dikuasai dokter non-Muslim itu. Syekh Taqiyyuddin menyatakan, seorang Nasrani atau Yahudi yang ahli dalam ilmu kedokteran dan bisa dipercaya boleh diangkat menjadi dokter.
Sebagaimana mereka memperoleh kepercayaan untuk dititipi harta atau menjalin hubungan perdagangan. Ada sejumlah peristiwa yang dijadikan landasan. Sewaktu hijrah, Muhammad mengupah seorang penunjuk jalan bukan Muslim yang sarat pengalaman. Orang-orang dari suku Khuza'ah, baik yang telah memeluk Islam maupun belum, digunakan sebagai mata-mata.
Sayyid Sabiq menuturkan, Rasulullah pernah menyuruh berobat ke Harits bin Kaldah sedangkan dia adalah orang kafir. Hanya saja, sepanjang masih ada dokter Muslim baik perempuan maupun laki-laki berobatlah kepadanya. Sama halnya dengan menitipkan harta dan menjalin hubungan erat dalam perniagaan.
Ada ketentuan yang sebaiknya diketahui oleh Muslimah saat sakit. Sabiq mengungkapkan, barang yang dipakai sebagai obat bukanlah yang berstatus haram. Ulama bersepakat, pengobatan dengan khamar dan barang terlarang lainnya. Thariq bin Suwaid pernah bertanya kepada Nabi soal khamar yang digunakan sebagai obat. Lantas Nabi menjawab, "Itu bukan obat, tetapi penyakit."
Lebih lanjut, Sabiq mengatakan, beberapa tetes yang tidak banyak, tidak kelihatan, serta tak memabukkan kalau dicampurkan dengan adonan obat hukumnya tidak haram. Sama kasusnya dengan sedikit sutra yang tercampur dengan kain. Bukan itu saja, Rasulullah melarang jampi dan jimat dalam pengobatan.
Siapa saja yang menggantungkan tamimah, Allah tak akan menyelamatkannya dan siapa yang menggantungkan wadiah, Allah tidak akan memeliharanya. Tamimah merupakan secarik kain yang biasa digantungkan pada bagian tubuh anak-anak dengan tujuan menurut yang memercayainya, akan mampu mengusir setan.
Praktik semacam ini dibatalkan oleh Islam. Rasul mendoakan agar orang yang meyakininya tidak akan diselamatkan dan dilindungi Allah. Beliau pernah melihat di pergelangan seorang laki-laki terdapat rantai dari tembaga. Nabi bertanya, "Apa ini?" Laki-laki itu menjelaskan, rantai itu adalah penangkal wahinah atau lemah syaraf yang biasanya menyerang di bahu dan seluruh tangan.
Sebagian orang menyatakan, wahinah ini penyakit yang menyerang pergelangan tangan. Maka itu, ada dari mereka mengikatkan rantai di pergelangan tangan karena percaya rantai tersebut menjaganya dari rasa sakit. Dengan kenyataan itu, Rasulullah melarang perilaku itu dan menganggap itu salah satu bentuk jimat.