REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menghadapi usia tua adalah keniscayaan. Tetapi, men jadi sosok yang dewasa adalah pilihan.
Tak sedikit orang yang mapan dari segi umur, tapi belum memiliki kepribadian yang matang. Usia memang bukan jaminan dan tolok ukur kedewasaan seseorang. Tak mudah menjadi dewasa. Butuh proses panjang dan tahapan. Apa dan bagaimana ke dewasaan itu telah dikupas dalam de retan buku motivasi ataupun psikologi.
Prof Ahmad Hasan dalam artikelnya yang berjudul “Samat ar Rajulah fi al- Islam” mengatakan, sedikit sekali para penulis ataupun peneliti yang mencoba membahasnya dari perspektif Islam. Dalam makalahnya itu, ia berupaya menjabarkan pemaknaan kedewasaan dan kriterianya menurut kacamata Islam. Seperti apakah pembacaannya atas kedewasaan?
Menurut dia, rajulah atau kedewasaan bukan identitas yang berdiri sendiri, tetapi merupakan sifat yang bisa dimiliki oleh siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan. Kata rajul dalam Alquran memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Adakalanya, bermakna laki-laki sesuai dengan arti dasarnya. Ini seperti ayat 7 dan 12 surah an-Nisaa’.
Kadang pula, kata rajulah yang di maksudkan itu berarti sifat-sifat bagi sosok pribadi yang dewasa dan matang. Sebut saja ayat ke-109 surah Yusuf. Kata rijal itu merupakan representasi sebuah kesempurnaan dan kekuatan yang dimiliki oleh seorang pria. Sifat para pembesar yang memegang tampuk risalah dan menyerahkan hidup mereka untuk menyampaikan wahyu. Ini seperti ayat 23 surah al-Ahzab.
Pada intinya, kata Prof Hasan, mereka yang menelusuri definisi rajulah atau kedewasaan dalam Alquran dan sunah akan mendapati satu kesimpulan, yaitu orang yang laik menyandang sifat dewasa baik dari golongan Adam atau Hawa ialah mereka yang hidup taat dan mengimplementasikan takwa dalam kehidupan sehari-hari.
Ini terdapat di surah al-Hujurat ayat 13. Hadis Abu Hurairah juga me nyebut demikian. Sebaik-baik manusia ialah mereka yang bertakwa. Ini berarti, takwa dalam pemaknaan yang luas bisa dijadikan sebagai tolok ukur ke dewasaan seseorang.
Kematangan emosi
Atas dasar inilah, Prof Hasan me ngatakan, hakikat kedewasaan seseorang adalah kematangan emosional yang tecermin dalam setiap per buatannya. Dewasa bukan proses rekayasa, melainkan hasil capaian dari rentetan tahapan.
Ini penting. Acapkali, seseorang me maksakan diri ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia telah de wasa. Padahal, pada saat bersamaan, justru tindakannya itu merusak esensi kedewasaan.
Ia mencontohkan, kedewasaan bukan berarti egoisme dalam diri. Proses pencarian seseorang terkadang menghentikannya dalam satu titik bahwa inilah jati diri yang sebenarnya. Terkadang malah memaksakan orang lain agar mengikuti keinginan dan pola pikirnya. Sikap seperti ini tidak benar.
Bukan termasuk dewasa jika ia bersifat keras kepala dan angkuh, sekalipun ia dalam posisi salah. Kedewasaan bukan berarti tidak berani menarik ucapan, keputusan, dan prinsipnya saat ia keliru.
Bersikap keras bukan pula cermin dewasa. Dewasa tidak mesti jauh dari sikap lembut. Justru kedewasaan muncul dari sikap arif dan bijaksana. Menghadapi masalah apa pun dan saat berinteraksi dengan siapa pun. Apalagi, mengukur kedewasaan dari keberanian merokok. “Jelas salah kaprah,” katanya. Karena itu, kedewasaan bukan suatu kamuflase, melainkan buah dari kematangan spiritual dan mental seseorang.