REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam hitung cepat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua beberapa waktu lalu, pasangan pejawat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat kalah dari pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan perbedaan 10-15 persen suara. Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan, hal ini menjadi peringatan dari banyaknya pejawat yang tumbang di pilkada serentak 2017.
"Jangan terlalu membanggakan kinerja, capaian dan prestasi yang hanya berbasis kebahagian data statistik dan angka semata. Ingat Ahok saya kira tak lazim kalah sebagai calon pejawat dengan tingkat kepuasaan 75 persen," kata Pangi kepada Republika.co.id, Kamis (4/5).
Ia memaparkan ada dua variabel yang menyebabkan masyarakat tidak puas terhadap kinerja pejawat. Pertama pejawat sudah bekerja keras luar biasa namun masyarakat tidak pernah mengetahui apa yang sudah dikerjakannya.
Kedua, mispersepsi atau sintemen negatif yang tidak diantisipasi jauh-jauh hari, alias dibiarkan isu tersebut bergerak bebas, sehingga masyarakat tidak puas. Bisa jadi pejawat punya banyak prestasi namun tidak banyak dilihat publik.
Pilkada langsung adalah soal pilihan terhadap figur, sehingga sangat tergantung pada soal suka atau tidak. Dan suka atau tidak sangat dipengaruhi oleh persepsi, isu populisme dan top isu serta memainkan sentimen positif yang dibangun dan tercitrakan.
"Tren kecenderungannya perilaku pemilih (voting behavioral) sangat tidak suka terhadap pemimpin yang terlalu birokratis, 'raja jaim', dan kaku. Aktivitas formal lebih dominan dari pada nonformal, seperti blusukan dan seterusnya," ujarnya.
"Saya ingin katakan bahwa pada satu kesimpulan yang tak melompat, jika pejawat terlalu percaya diri dengan bersandar pada indikator prestasi, penghargaan dan capaian selama menjabat namun mengabaikan sentuhan populisme dan emosional (personal touch) dengan rakyatnya, bersiap lah untuk ditinggalkan rakyatnya," kata Pangi.