REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Erwin Rijanto, merangkum beberapa hal yang menjadi tantangan kestabilan sistem keuangan di Indonesia saat ini. Meski prospek perekonomian global dan domestik diperkirakan membaik sejalan optimisme Dana Moneter Internasional (IMF) yang merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi global, namun Erwin menilai tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan tidak ringan dan diliputi ketidakpastian tinggi.
"Dalam jangka pendek, sumber risiko terbesar datang dari luar, yaitu rencana Federal Reserve Amerika Serikat (the Fed) yang akan meningkatkan suku bunga, diikuti normalisasi balance sheet-nya," kata Erwin dalam Seminar Nasional Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Bali, Kamis (4/5).
Dari sisi domestik, Erwin mengatakan potensi tekanan inflasi bersumber dari rencana pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM). Dari sisi struktural, sistem keuangan saat ini diwarnai makin beragamnya inovasi produk dan pesatnya teknologi di bidang keuangan.
"Perkembangan ini di satu sisi meningkatkan peran sektor keuangan dalam pembangun, namun di sisi lain ada konsekuensi kompleksitas yang muncul bagi otoritas sebab bisa menjadi sumber-sumber kestidakstabilan baru pada sistem keuangan," ujarnya.
BI, LPS, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Keuangan bersama industri, kata Erwin perlu bahu-membahu memelihara kestabilan sistem keuangan. Semuanya perlu meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapi tantangan ke depan.
BI dari sisi kebijakan moneter mengarahkan kebijakan suku bunga yang konsisten mampu mengendalikan inflasi sesuai target. Kebijakan nilai tukar juga ditempuh agar pergerakannya sesuai fundamentalnya.
Dari sisi kebijakan makroprudensial, kata Erwin pengelolaan risiko sistemik, termasuk risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, dan penguatan struktur permodalan perlu dilakukan. Dai sisi kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, BI akan mengembangkan industri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien melalui penyempurnaan arsitektur sistem pembayaran dan perluasan akses layanan pembayaran.
Saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Koordinasi pemantauan dan pemeliharaan sistem keuangan melalui penyampaian penilaian terkait bidang moneter, makroprudensial, pasar uang, dan sistem pembayaran.
Studi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) 2014 memperkrakan total akumulas kerugian yang dialami dunia sejak terjadinya krisis keuangan global mencapai 25 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahunan dunia.
Indonesia pernah mempunyai pengalaman pahit saat krisis moneter 1997-1998 di mana perekonomian nasional terpuruk dan baru bisa bangkit setelah tujuh tahun. Biaya yang diperlukan juga besar, mencapai 57 persen dari PDB atau setara Rp 650 triliun.