REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Waluyo menyatakan, rangkap jabatan pejabat pemerintah di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), harus diwaspadai. Sebab, hal tersebut berpotensi memicu konflik kepentingan.
Waluyo mengatakan, ada beberapa pejabat pemerintah yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN secara tidak tepat. Misalnya, pejabat tersebut tidak punya kompetensi, atau punya kompetensi tapi tidak memberi banyak kontribusi kepada perusahaan.
"Walaupun ahli kalau enggak punya waktu bagaimana, rapat saja enggak datang. Itu yang tidak tepat. Tugas komisaris kan memberi saran, kalau waktu saja enggak ada, apa yang bisa disarankan," kata dia dalam diskusi "Membedah Rangkap Jabatan Pejabat Pemerintah" di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (4/5).
Waluyo juga menerangkan, ada dampak negatif yang akan terjadi jika rangkap jabatan ini terus berlanjut. Karena, meski pejabat yang rangkap jabatan itu memiliki kompetensi tapi kerap kali tidak memiliki waktu yang banyak. Kondisi ini akan membuat kerjanya setengah-setengah.
Bahkan, kata Waluyo, ketika kerja komisaris tersebut setengah-setengah, gaji bulanan untuknya tetap ada. Dia mengatakan, gaji seorang komisaris BUMN itu 40 persen dari gaji dirut BUMN. Pada 2011, kata dia, gaji dirut BUMN itu sekitar Rp 175 juta, maka gaji untuk komisarisnya sekitar Rp 60 juta.
Belum lagi bonus tahunan yang besarannya beragam, tapi tergolong besar. "Maka ini perlu ditata, ini bagian dari reformasi birokrasi. Terapkan ke single salary system," ujar dia.
Menurut Waluyo, jika terjadi rangkap jabatan yang tidak tepat, maka bisa mengganggu kerja dua institusi, baik di institusi asal maupun di BUMN. Sebab, potensi konflik kepentingan akan selalu terjadi. Terlebih, bagi Waluyo, konflik kepentingan adalah akar dari kecurangan.
Namun, Waluyo mengakui, ada rangkap jabatan yang menurutnya tepat. Misalnya, jika direktur jenderal di kementerian ESDM menjadi komisaris di PT Pertamina, maka ada kesinambungan untuk saling mendukung program energi yang diusung pemerintah. "Misalnya program jaringan gas, nah itu kan pas. Tapi ada juga yang banyak sekali dari sisi kompetensinya tidak pas," ujar dia.
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo, dalam diskusi tersebut, menyatakan tidak sepakat dengan adanya pejabat pemerintah yang merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN. Ia mencontohkan, ada sejumlah pejabat di Kementerian PU-PR yang memang menjadi BUMN di bidang infrastruktur, seperti PT Adhi Karya dan PT Hutama Karya.
"Bayangkan Hutama Karya dan Adhi Karya, sebagian besar pasarnya (Kementerian) PU, lalu komisarisnya orang PU, nah ini kan benturannya nyata," kata dia.
Menurut Agus, rangkap jabatan itu tidak boleh terjadi. Sebab, itu produk dari zaman orde baru, di mana ada pejabat yang gajinya kurang sehingga diberikan jabatan yang lain. "Kalau gajinya kurang ya harus ada reformasi birokrasi yang jelas, roadmap-nya harus jelas, hilangkan rangkap jabatan," kata dia.
Karena itu, orang-orang yang dipilih sebagai komisaris BUMN itu harus betul-betul mempunyai kompetensi, menguasai persoalan, mampu mengembangkan usaha BUMN tersebut dengan baik, dan mampu bekerja secara penuh. "Kalau saya sarankan, (rangkap jabatan) itu enggak boleh," kata dia.