Kamis 04 May 2017 20:20 WIB

Restoran 'Hantu' Jalur Tengkorak, Mau Beli?

Kendaraan melintas di Tol Cipali, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (2/7). Pada H-4 Idul Fitri 1437 H arus kendaraan di Tol Cipali terpantau padat.
Foto: Antara
Kendaraan melintas di Tol Cipali, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (2/7). Pada H-4 Idul Fitri 1437 H arus kendaraan di Tol Cipali terpantau padat.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Agus Yulianto, Wartawan Republika

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meresmikan beroperasinya jalan tol Cikopo-Palimanan (Cipali) yang memiliki panjang mencapai 116,7 kilometer (KM) pada 13 Juni 2015. Tol yang dirancang sejak era pemerintahan orde baru (masa Presiden Suharto) ini, menjadi tol terpanjang di Indonesia, meski dalam pengerjaan banyak mengalami hambatan, terutama terkait soal pendanaannya. ‎Tol Cipali yang menggunakan luas tanah sekitar 1.080  hektare itu, merupakan bagian dari proyek jalan tol trans Jawa.

Ya, megaproyek ini sempat mangkrak akibat krisis moneter yang terjadi pada 1998, hingga akhirnya mulai direalisasikan kembali di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pengerjaan proyek Tol Cipali itu sendiri dikerjakan oleh PT Lintas Marga Sedaya (LMS) dengan masa konsesi selama 35 tahun dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

Pemerintah menargetkan, pembangunan Tol Cipali yang diharapkan dapat mengurai kemacetan parah di jalur 'tengkorak' pantai utara (Pantura) Provinsi Jawa Barat ini, selesai pada Agustus 2015. Namun, pembangunan tol tersebut mampu diselesaikan dua bulan lebih cepat dari target semula.

"Pertengahan Desember lalu saya ke sini. Saya minta ini harus selesai sebelum lebaran, tapi alhamdulillah malah sebelum puasa sudah bisa dioperasikan‎," kata Jokowi saat peresmian pada Sabtu, 13 Juni 2015.

Keberadaan Tol Cipali memang dapat mengurangi kemacetan di jalur pantura, terlebih saat terjadi arus mudik dan balik Lebaran setiap tahunnya. Maka tak heran, sebelum Cipali ini berfungsi, kemacetan parah kerap terjadi. Waktu tempuh puh semakin lama, bahkan bisa 200 persen meningkat dibanding perjalanan normal.

Di sisi lain, kondisi ramainya dan macetnya arus kendaraan di sepanjang jalur pantura Jabar, saat hari keagamaan atau libur nasional, justru menjadi ladang 'rejeki' bagi masyarakatnya. Selain restoran-restoran besar yang sudah berdiri lebih dahulu, maka warung-warung dadakan yang muncul di jalur 'tengkorak' pun turut mengais rupiah. Wajar, perputaran rupiah pada momen-momen hari besar keagamaan itu, nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Ya, pantura Jabar, kala itu itu, menjadi 'jalur emas' bagi siapa pun.

Hanya saja, masa 'keemasan' itu sirna, pasca-tol Cipali beroperasi. Betapa tidak, kendaraan-kendaraan pribadi yang biasanya memadati jalur 'tengkorak', itu lebih dari 50 persennya beralih ke Tol Cipali. Pemerintah memang menargetkan, dengan beroperasinya Tol Cipali ini, maka juga bisa mengurangi jarak tempuh jalur pantura sepanjang kurang lebih 40 kilometer dan mengurangi waktu tempuh selama kurang lebih 1,5 jam.

Jalur Tol Cipali ini melewati lima ‎kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Purwakarta, Subang, Indramayu, Majalengka dan ‎Kota/Kabupaten Cirebon.‎ Tol yang memiliki 99 jembatan tersebut terhubung dengan Jalan Tol Jakarta–Cikampek-Palimanan–Kanci.

Di sisi lain, dengan adanya delapan rest area, LMS melibatkan warga sekitar dan PKL di kaki lima untuk mengisi toko-toko di rest area tersebut. Cara tersebut diharapkan akan membantu daerah dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Keramaian bisnis restoran pun bergeser ke jalur 'bebas hambatan' tersebut.

Restoran terpuruk

Hanya dalam hitungan bulan, satu per satu rumah makan dan restoran, terpaksa mulai tutup. Itu karena, penghasilan yang diperolehnya terus menurun. "Sejak dibukanya Tol Cipali, sudah tidak ada lagi mobil (bus dan kendaraan pribadi, red) yang mampir. Penghasil jadi menurun terus," kata Wasnadi (40 tahun), salah satu pelayan Restoran Pringsewu, yang saat ini masih ditugaskan untuk menjaga restorang tersebut.

Restoran Pringsewu di Jl Raya Eretan Kulon, Kabupaten Indramayu ini adalah salah satu restoran terbesar yang ada di jalur pantura Jabar. Restoran yang berdiri pada 1980-itu, memiliki areal yang cukup luas, 17.000 m2. Pada masa keemasannya, restoran cukup laris karena menu yang disajikannya beraneka ragam, terutama sea food. "Nggak pernah sepi, mas. Apalagi, kalau memasuki puasa dan arus mudik lebaran, sangat ramai," kata Wasnadi.

Namun, pascaberoperasinya Tol Cipali, semuanya berubah 180 derajat. Pelan tapi pasti, kehilangan pelanggan terjadi dari waktu ke waktu. "Akhirnya ya tutup seperti ini, mas," ujarnya.  

Tutupnya usaha restoran itu pun ditandai dengan papan pengumuman penjualan di bagian depan bangunan. "Iya mas, dijual, tapi bisa juga dikontrakan. Bisa hubungi saya atau majikan saya di nomer telepon di papan itu," kata Wasnadi sambil menunjukan papan putih berukuran 50 cm x 50 cm ditempelkan pada sebatang pohon di depan bangunan restoran.

Wasnadi menyebutkan, harga jual restoran tersebut yang mencapai Rp 8,5 miliar. Sedangkan bila disewakan, penawar disilakan untuk menghubungi majikannya. Begitu merasakan dampak kurang menguntungkan dari beroperasinya Tol Cipali, pemilik Restoran Pringsewu memang memindahkan bisnis restorannya di jalur Tol Cipali, daerah Subang.

Restoran-restoran besar lain yang gulung tikar akiba terdampak pemberlakuan jalan Tol Cipali bisa dilihat dari mulai Patok Besi, Kabupaten Subang, hingga perbatasan Indramayu-Cirebon. Sedikitnya ada 23 restoran besar di jalur 'tengkorak' ini yang benar-benar 'mati'. Di antaranya RM Barokah Jl Raya Sumuradem, Indramayu; RM Lyla Jl Raya Pusakanegara, Subang; RM Markoni, Jl Raya Sukasari, Subang; Rm Karunia Jl Cibanggala, Subang dan Rm Sukamenanti Jl Raya Ciasem, Subang. Tak hanya restoran besar yang terdampak. Namun, warung-warung nasi skala kecil, termasuk rumah makan Padang, pun banyak yang tutup juga.

Jumadi (50 tahun), pemilik salah satu warung makan di pantai utara (pantura) Patok Besi, Kabupaten Subang, hanya bisa bergumam lirih. "Tak ada lagi yang mampir," katanya.

Dia pun bercerita, sebelum Tol Cipali diresmikan, kehidupan di sepanjang ruas jalan pantura, dari Cikampek hingga Indramayu, masih menjadi satu- satunya mata pencarian para warga setempat. Berjajar rumah makan dengan luas halaman yang lebar menjadi modal mereka untuk bisa menawarkan tempat peristirahatan bagi para pengendara mobil.

Dari pemantauan Republika.co.id, memasuki wilayah Cikampek, menuju Indramayu, warung-warung yang biasanya ramai menjadi tempat pemberhentian bus, truk, dan mobil tersebut, sudah banyak yang tutup. Tak sedikit yang rusak dan tidak terawat.

Beberapa warung makan dengan papan nama yang besar tertutup kain bertuliskan 'Dijual/Dikontrakkan'. Tak sedikit dari warung-warung sudah memagari halaman yang biasanya untuk tempat parkir tersebut dengan rantai. Ada juga banyak warung yang masih bertahan untuk tetap berjualan, namun tampak sepi tak berpengunjung.

Pascalebaran 2015, mereka mengaku harus gulung tikar akibat minimnya angka kendaraan yang melintasi jalur pantura. Banyak pengendara memilih untuk melewati jalur tol Cipali mulai dari Jakarta langsung menuju Cirebon.

"Kalau mau dibilang drastis, ya maha drastis. Kalau dulu sehari bisa satu Rp 1 juta, misalnya, tapi sekarang masuk Rp 250 ribu saja sudah alhamdulillah," ujar, Jumat pekan lalu.

Jumadi mengaku,mengelola usaha warung makan itu secara turun-temurun dari orang tuanya. Berdiri sejak 1977, warung makan tersebut menjadi salah satu tempat favorit para pengendara mobil, truk maupun motor untuk beristirahat.

Warung makan seluas kurang lebih 500 meter tersebut biasa menjadi tempat parkir dan beristirahat para sopir truk gandeng yang memilih untuk berjalan malam. Tak hanya itu, lebaran tahun-tahun sebelumnya, halaman warungnya bisa memuat 15 mobil hingga 20 mobil roda empat. Warung ini harus gulung tikar, karena tak mampu menggaji karyawan yang juga sanak saudaranya.

Pendapatan para warga sekitar juga berkurang. Sebab, tak sedikit dari warga sekitar biasa menjajakan oleh- oleh bahkan menjadi tukang parkir di depan warung makannya.

"Sekarang ya habis semua. Ya, ini kalau mau dibilang imbas adanya Tol Cipali ya iya. Tapi saya juga bingung mau mengadu sama siapa. Nggak ada yang bisa dibuat keluh kesah," ujarnya.

Hidup segan, mati pun tak mau. Pepatah itu tampaknya yang dirasakan oleh Ibu Hani Sari (45). Dia sebelumnya menjadi orang kepercayaan pemilik Restoran Anugrah, Jl Raya Patrol, Kabupaten Indramayu. Dia mengaku, tak mempunyai pilihan lain selain bertahan berjualan nasi ala kadarnya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Perempuan asal Kabupaten Banyumas, Provinsi Jateng ini menceritakan mengapa Restoran Anugrah milik majikannya itu 'mati segan, hidup pun tak mau'. Kata dia, sejak beroperasinya jalan Tol Cipali, maka kendaraan yang melintasi di pantura semakin berkurang drastis dan membuat pemasukannya merosot tajam.

Namun demikian, dikatakan Hani, majikannya itu tidak benar-benar menutup usahanya. Kata dia, ketika musim lebaran atau hari-hari liburan panjang tiba, maka restorannya kembali buka. "Ya hanya sementara saja," ungkapnya.

Karena itu, Hani dan suaminya masih diberi kepercayaan oleh majikannya yang asli Jember, Provinsi Jatim itu, untuk menjalankan warung nasi kecil yang berada di sebelah Restoran Anugrah. "Hanya untuk sekedar mengisi waktu," ujarnya.

Selain menjual nasi, dia pun bertahan dengan jualan kopi serta mi instan. "Ya kalau ke sini, satu-dua masih ada yang berhenti. Jadi, harus tetap dilakoni. Kalau tidak, nggak bisa kasih makan anak-anak," ujar Hani. Di warungnya itu, hanya ada peralatan sederhana kompor, wajan, magic com dan gentong air serta peralatan makan yang digunakan untuk merebus air dan membuat mi.

Pedapatan retribusi turun

Pembangunan ruas Tol Cipali memang memiliki sejumlah kepentingan. Selain sebagai sarana transportasi, juga guna menunjang pertumbuhan dan percepatan ekonomi. Pemerintah berharap, pembangunan jalan tol ini mampu memberikan pengaruh yang positif bagi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar jalan tol.

Namun, tak dipungkiri, pembangunan jalan tol itu juga berimbas pada penurunan pendapatan (retribusi) rumah makan dan restoran yang dialami pemerintah daerah (pemda). Pasalnya, berdasarkan data Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (KPWBI) Cirebon pada 2015, menyebutkan antara 68-70 persen pengusaha restoran di kawasan Pantura tutup sejak jalur tol sepanjang 116,75 km itu dibuka.

Terjadinya penurunan pendapatan pajak ini, jelas sekali dirasakan Pemkab Indramayu. Bupati Indramayu Hj Anna Sophanah mengakui hal itu. Kata dia, akibat beroperasinya Tol Cipali, pendapatan pajak dari sektor rumah makan dan restoran, mengalami penurunan cukup signifikan. "Penurunannya hingga 70 persennya," katanya, tanpa memerinci besaran raihan pajak dari sektor tersebut.

Berdasarkan data yang dimiliki Pemkab Indramayu, dari delapan wajib pajak restoran besar di jalur pantura Indramayu, terjadi penurunan pendapatan dari Rp 300 jutaan menjadi Rp 61 juta per bulan. Misalnya, pajak Rumah Makan Pesona Laut. Sebelum Tol Cipali dibuka pajaknya Rp 20 juta per bulan, namun sekarang hanya di kisaran Rp 9 juta.

Meski demikian, dikatakan Anna, pihaknya tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Salah satunya, adalah dengan memerintahkan Dinas Pendapatan Daerah untuk mengalihkan pendapatan pajak dari pantura lama ke rest area Tol Cipali.

“Rumah makan yang tutup ini kan sebagian pindah ke rest area, karena lokasi yang sekarang sudah tidak menguntungkan. Sepi, tak ada pengunjung. Nah ini, yang akan dioptimalkan meski pun sampai saat ini belum terlihat peningkatannya,” ucap Anna.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement