REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, usulan pembiayaan saksi dari partai politik (Parpol) oleh APBN bertentangan dengan semangat penguatan kelembagaan parpol. Pembiayaan saksi dari parpol untuk pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) akan membutuhkan anggaran yang sangat besar.
"Semangat membangun kelembagaan Parpol lewat organisasi dan keanggotaan terciderai dengan usulan pembiayaan seperti itu. Di satu sisi, Parpol diwajibkan kuat secara organisasi. Sementara di sisi lain sebagai kontestan, instrumen Parpol justru tidak digunakan dan dibebankan kepada negara," ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (4/5).
Dia melanjutkan, wacana pembiayaan saksi dari parpol oleh negara sempat mengemuka pada 2014 lalu. Namun, wacana itu ditolak karena negara tidak mampu menyediakan anggaran yang jumlahnya sangat besar.
Titi berpandangan, jika wacana tersebut bertujuan mencegah manipulasi dan kecurangan justru tidak tepat sasaran. Sebab, proses pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan dalam TPS merupakan proses yang terbuka jika dibandingkan proses setelahnya.
"Jadi saran kami, yang bisa menjadi solusi adalah sistem rekapitulasi elektronik hasil pemungutan suara. Yang menjadi persoalan adalah ketika hasil suara sudah bergerak dari TPS ke jenjang lebih tinggi. Proses rekapitulasi elektronik lebih cepat diakses, transparan dan akuntabel," katanya.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, Pansus RUU Pemilu DPR mengusulkan honor saksi untuk Pileg dan Pilpres yang berasal dari Parpol dibiayai oleh APBN. Usulan itu mengemuka dalam pembahasan finalisasi RUU Pemilu.
"DPR mengusulkan biaya saksi Pileg dan Pilpres berasal dari APBN. Jika dihitung biaya untuk satu Pileg dan Pilpres menghabiskan dana di atas Rp 10 triliun. Itu hanya untuk biaya saksi saja," ungkap Tjahjo di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Selasa (2/5).
Menurut Tjahjo, usulan itu sedang dibahas dengan DPR. Jika anggaran yang dibutuhkan tidak banyak dan pemerintah menganggapnya rasional, maka usulan itu bisa dilakukan. Namun, jika jumlah pembiayaan besar, dia mengingatkan bahwa usulan itu berkenaan langsung dengan proses pengawasan dan audit BPK.
Tjahjo juga mengingatkan akan ada kemungkinan pelaksanaan pileg dan pilpres tidak hanya berlangsung dalam satu periode. "Kalau ada tahap kedua ya ulang lagi. Biaya Rp 10-20 triliun itu sudah cukup banyak jika digunakan untuk perbaikan sekolah," katanya