REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Indonesia mengambil sikap tegas dengan memberlakukan moratorium terhadap seluruh kegiatan PTTEP Exploration and Production Pcl (PTTEP) di Indonesia berupa pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi, Moratorium akan tetap diberlakukan sebelum ada penyelesaian yang nyata terkait dengan masalah pencemaran di Laut Timor
Sydney Morning Herald (SMH) dalam laporan utamanya, Jumat (5/5), menyebutkan moratorium tersebut ditegaskan oleh Kementerian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya RI. Penegasan itu ditandatangani oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno dalam suratnya kepada Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tertanggal 3 Februari 2017.
Sikap tegas Pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium tersebut, karena anak usaha PTTEP, PTTEP Australasia telah mencemari Laut Timor dan pesisir pantai Nusa Tenggara Timur akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009.
Berbagai upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia, antara lain meminta ganti rugi dan membentuk suatu komisi independen, tidak memberikan hasil sama sekali, karena PTTEP tidak beritikad baik untuk menyelesaikan pencemaran di Laut Timor.
Menurut Havas, perusahaan tersebut memiliki rekam jejak yang buruk dalam penanganan kasus tumpahan minyak di laut, seperti kasus pencemaran di Rayong, Thailand pada 2013 yang sama sekali tidak diberikan kompensasi. Mengacu pada berbagai argumen tersebut, Havas memandang penting menggugat PTTEP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta memberikan sanksi moratorium terhadap semua kegiatan PTTEP di Indonesia sebelum terdapat penyelesaian yang nyata dari PTTEP.
Terkait dengan rencana gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Havas mengatakan tim kuasa hukum dari Indonesia sudah dibentuk oleh Kejaksaan Agung RI. Di samping itu, masyarakat Nusa Tenggara Timur yang dirugikan, khususnya para petani rumput laut telah memenangkan gugatan class action pada tingkat prosedural di Pengadilan Federal Sydney di Australia pada 22 Agustus 2016.
"Mengacu pada berbagai pertimbangan tersebut, hal ini merupakan faktor yang memperkuat pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium," ujar Havas sebagaiama dikutip SMH