Jumat 05 May 2017 17:16 WIB

Temui Jokowi, KPK Beri Masukan Perbaikan Sistem Pemerintahan

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bayu Hermawan
Ketua KPK Agus Rahardjo
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Ketua KPK Agus Rahardjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (5/5). Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, dalam pertemuan ini KPK memberikan sejumlah masukan terkait berbagai hal kepada kepala negara.

Masukan yang diberikan tersebut terkait pengelolaan pemerintahan dan perbaikan sistem pemerintahan. "Pertemuan ini memang atas permintaan dari pimpinan KPK, meskipun lembaga independen tapi beliau sebagai kepala negara itu kemudian perlu mendapatkan masukan dari kita terkait dengan banyak hal," jelasnya saat memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (5/5).

Pimpinan KPK mengatakan sejumlah masukan yang diberikan di antaranya terkait penyelesaian dan penyesuaian aturan-aturan yakni terkait PPN 10 persen untuk kontrak pemerintah dan belanja modal 10 persen yang tidak bisa dimanfaatkan dengan optimal karena kembali lagi ke pemerintah. Karena itu, KPK menyarankan agar melakukan evaluasi terkait aturan-aturan tersebut.

"Kami menyarankan untuk dievaluasi lagi apakah memang itu kemudian tetap akan dijalankan seperti itu atau model yang lain supaya yang 10 persen tadi lebih optimal," jelas Agus.

Selain itu, KPK juga memberikan masukan terkait adanya kesenjangan antara peraturan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan konvensi pemberantasan korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Convention Against Corruption/UNCAC). Sebab, Indonesia sendiri belum memiliki peraturan di sektor privat.

"Jadi gap-nya masih banyak. Antara lain kita sudah meratifikasi UNCAC tapi kita belum mempunyai misalkan UU korupsi di private sektor, illicit impeachment, jual pengaruh itu belum punya semua," jelasnya.

Menurut Agus, Indonesia pun juga membutuhkan penerapan peraturan lainnya seperti UU pembatasan pembayaran tunai dan UU pembuktian terbalik. "Ini juga perlu diterapkan di negara kita," ucapnya.

Sementara itu, Alexander Marwata menyampaikan KPK telah menindak sekitar 60 kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan juga walikota. Bahkan, menurut dia, hingga sekarang masih banyak kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi.

"Mungkin sampai sekarang kalau kita himpun masih banyak kepala daerah yang melakukan itu. Kita kaji kenapa sih kepala-kepala daerah itu bermasalah dengan perkara korupsi," ujar Alexander. 

Ia menjelaskan, hal ini dikarenakan lantaran peran dari pengawasan internal tidak berjalan optimal. Sebab, dari sisi peraturan inspektorat, aparat pengawas internal pemerintah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekda. Karena itu, KPK mengusulkan agar pengangkatan kepala inspektorat atau auditor tidak di bawah kepala daerah.

"Kami mengusulkan agar pengangkatan kepala inspektorat atau auditor itu tidak di bawah kepala daerah," kata dia.

Menurut Alex, sebaiknya terdapat lembaga independen di luar pemerintah daerah. Lembaga tersebut yang akan melakukan pembinaan kepada inspektur ataupun auditor.

"Untuk pengangkatan, pemuktajian itu harus dengan rekomendasi lembaga yang independen tadi," lanjutnya.

Alex menilai, pengawas internal tak dapat berjalan optimal lantaran terdapat rasa ketakutan ataupun kekhawatiran saat melakukan audit dan ada temuan menyangkut pejabat tertentu. Dengan adanya lembaga independen, maka diharapkan pengawas internal dapat menjalankan tugasnya.

Lebih lanjut, KPK juga memberikan masukan untuk melakukan pemecatan terhadap PNS yang melakukan penyimpangan. Ia mencontohkan, selama ini KPK telah banyak menerima aduan terkait penyimpangan dana desa. Namun lantaran bukan merupakan kewenangan dari KPK, maka KPK tak bisa menindaknya.

"Kami mengusulkan ada mekanisme untuk memberikan sanksi kepada kepala desa yang melakukan penyimpangan-penyimpangan dana desa itu. Misalnya dengan pemberhentian, pemecatan," ujarnya.

Tak hanya itu, pemecatan PNS yang melakukan penyimpangan prinsip etika dan integritas diharapkan dapat dipermudah. Sanksi yang diberikan pun seharusnya lebih tegas.

"Kami mengusulkan ada peraturan atau ada ketentuan yang mempermudah pemberhentian PNS itu," kata Alex.

Menurutnya, untuk menindaklanjuti adanya penyimpangan-penyimpangan tidaklah harus melalui proses hukum. Namun dapat dilakukan dengan memberikan sanksi kepada pelaku.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement